MANUSIA DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN
Manusia
bukan sekadar makhluk menyusui saja yang hanya makan , minum dan berhubungan
seks. Ia memiliki potensi lebih dari itu yang ada dalam dirinya, yang
menjadikannya dalam al-Qur’an makhluk unik, berbeda dengan yang lain. A. Carrel mengemukakan dalam bukunya Man then unknowen mengakhiri pasal
pertama uraiannya entang kebutuhan mengenal manusia lebih baik dengan
penegasan: “ Jelas sekali bahwa semua yang telah dihasilkan para pakar dalam
bidsng studi tentang manusia belum pada cukup/tuntas. Pengetahuan kita tentang diri kita pada
umumnya masih pada tahap awal”. Kitab
suci al-Qur’an dan Hadisr-hadist Nabi Muhammad saw. Diperoleh informasi serta isyarat-isyarat
yang boleh jadi dapat mengungkap sebagian dari misteri makhluk ini.
secara tegas dan ganblang al-Qur’an
mengemukakan bahwa manusia pertama diciptakan dari unsur tanah dan ruh Ilahi melalui proses, namun tidak dijelaskan
rinciannya. Reproduksi manusia juga
dikemukakan al-Qur’an tahapan-tahapannya tetapi tahapan yang dijelaskan lebih
banyak berkaitan dengan unsur tanahnya, bukan yang berkaitan dengan ruh Ilahi.
Isyarat
menyangkut isi psikis, rokhaniah manusia dikemukakan dalam uraian al-Qur’an
tentang sifat-sifatnya yang positif/negatif, serta pada ayat-ayat yang
berbicara tentang fitrah, nafs, ruh dan akal. Yusuf Qordawi(1977:33) pernah
mengatakan “Al-Qur’an adalah kitab manusiawi.
Al-Qur’an seluruhnya berbicara tentang manusia”.
Masyarakat
Islam dibentuk karena ideologinya yaitu Islam, kata Fazlur Rahman (1980:43). Ideologi adalah Weltanschaung, yang
menjelaskan hakikat realitas dalam perspektif
tertentu. Ideologi adalah cara
memandang realitas. Diantara realitas
penting yang diulas ideology adalah manusia.
“ Toute`ideologie precise
d`emblee, tacitemen on explicitement, la nature de` individu et la place quilui
est assignee daus lee group, en fontion de l`objectif social pousuiri. Paur line religion eschatologique come l`
Islam, Dieu sera la reference primordial et unique puisqu’ll est, a la ois, I
origine et le fin de la destine a hujnaine”, ditulis Marcel A.
Boisard(1979:84) ketika mengantarkan tulisannya tentang pandangan Qur’ani
mengenai manusia dalam bab Les Fils d’
Adam.
Adanya
anggapan bahwa Al-Qur’an hanya berbicara
tentang Tuhan sudah menjadi keheranan para filosofi Muslim. Menurut Muthahari al-Qur’an secara gamblang
menggambarkan citra manusia, yang tidak mungkin diberikan oleh selain-Nya. Siapa diantara para tokoh filosof yang sampai
pada kesimpulan bahwa manusia itu tidak saja eksitensial tetapi ia adalah
khalifah, pemakmur bumi .
Walaupun
Boisard mengakui pentingnya filsafat antropologis dalam Islam, dengan
menjelaskan bahwa al-Qur’an diwahyukan untuk memperkenalkan Tuhan kepada
manusia, bukan untuk menjelaskan manusia “
non pour expil quer I’ humain” (Boisard, 1979:84). Karena itu, dalm seluruh bukunya, Boisard
hamper tidak pernah membahas tentang karekterisstik manusia menurut al-Qur’an,
seperti lazimnya filsafat manusia (philoshopie
de I’homme).
Dirk
Bakker (dalam Abuasya, 1999) dalam bukunya Man in the Qur’an, mengulas manusia
dari segi penciptaannya, hubungannya dengan dunia, sesama manusia, Tuhan dan
fungsi manusia sebagai hamba Tuhan, tetapi tidak membahas principle d’ etre manusia.
Dalam berbagai perspektif(iptek. Politik, biologi, sosial) yang memberikan kedudukan manusia yang
istimewa makhluk ibadah.
Adalah
Rahman (1980), ia menjelaskan perbedaan manusia dengan makhluk lain. Semuanya dapat disimpulkan dalam kalimatnya, “The only difference is that while every
other creature follow its unique pre
velege and the unique risk of man”
(Rahman, 1980:24).
Rahman
mengulas tentang manusia dengaan melihat pandangan al-Qur’an tentang kesusukan
manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. Ia tidak memulai dari konsep-konsep dasar
yang digunakan al-Qur’an untuk mengabstrasikan manusia. Dalam tersebut, juga dalam tulisan lain
Rahman (1980) yang membahas amanah sebagai inti kodrat manusia. Uraian Rahman tidak jauh berbeda dengan
pembahasan Al-Ghazali yang lebih klasik(lihat,1960).
Munthar
i(1986) membahas karakteristik khas manusia yang lebih ”maju” dari AlGazali;
juga tulisan pendek dari AlFaruqi(1404: 332).
Dan sayangnya, seperti Fazlur Rahman, mereka meniliti ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan manusia, lalu menyimpulkan
secara induktif.
Al-Qur’an
memberi makna pada konsep-konsep dasar tentang manusia. Dengan perkataan lain, kita mengidentifikasi
istilah-istilah al-Qur’an tentang manusia, kemudian mengenal semantik dari
setiap istilah itu , sebagaimana digunakan dalam al-Qur’an. Tidak kurang pentingnya adalah memahami
konsep tentang potensi dan struktur kemanusia.
Merujuk kepada hasil Simposium Nasional Psikologi Islam I dan II dapat
disusun pra-konsep struktur jiwa manusia yang kembali bangunan “konsep manusia”
dikaitkan dengan pandangan Pemikir muslim.
1.
FITRAH
Dari
segi bahasa kata fitrah, terambil dari kata Fathir
yang berarti belahan, dari makna ini lahir makna-makna baru antara lain,
muncul, kejadian dan penciptaan, konon sahabat nabi Ibnu Abbas tidak tahu
persis apa arti kata Fathir (dari akar kata yang sama
dengan kata fitrah) sampai ia mendengar pertengkaran antara dua orang
menyangkut kepemilikan sebuah sumur. Salah seorang berkata ana fathartu. Saat itu Ibnu Abbas
memahami bahwa si pengucap mengaku bahwa dia yang menjadikannya/menggalinya pertam
memakai, dan sejak itu pula Ibnu Abbas mengetahui bahwa Fathir digunakan untuk makna
kejadian/penciptaan sejak semula.
Fitrah
manusia adalah “apa yang menjadi kejadiannya/ bawaannya sejak lahir”. Dalam
Al-Qur’an kata ini dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak dua puluh
delapan kali, empat belas diantaranya dalam konteks uraian tentang bumidan atau
langit. Sisanya dalam konteks pembicaraan tentang manusia, baik pengakuannya
sebagai makhluk ciptaan Allah, maupun berkaitan dengan uraian tentang fitrah
keagamaan yang dimilikinya. Hal terakhir ini dijelaskan dalam Al-Qur’an berikut
ini:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama (yang benar) fitrah Allah yang telah menciptakan manusian atasnya
(fitrah itu). Tidak adaperubahan pada fitirah A llah, itulah agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui “ (QS
Ar-Ruum/30: 30).
Dari ayat di
atas disimpulan bahwa manusia sejak asal kejadianya telah diciptakan Allah
membawa potensi keberagaman yang benar, yang diartikan ulama sebagai tauhid.
Selanjutnya
kalau kita memahami kata la pada ayat di atas dalama iti tidak
bnkan jangan, maka hal ini berarti bahwa fitrah keagamaan tersebut telah
ada sejak awal kejadian manusia dan ia tidak dapat dielakkan olehnya walaupun
boleh jadi diabaikan atau tidak diakuinya.
Walaupun kata
fitrah hanya ditemukan sekali data al-Quran dan dalam konteks keberagamaan,
namun ini bukan berarti bahwa fitrah manusia hanya apa yang disebut itu. Masih
ada kata-kata dalam ayat-ayat lain yang maknanya mengacu kepada fitrah, seperti
misalnya firman Allah berikut ini:
“Dijadikan indah
pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu
wanita-wanita, anak- anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternakdan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan disisi Allahlah tempat kenbaliyang baik (surga). (QS. Ali-Imran 14).
2. NAFS
Kata nafs dalam
al-Qur’an mempunyai aneka makna, antara lain diartikan sebagai totalitas
manusia seperti antara lain maksud QS. Al-Maidah: 32, dan apa yang terdapat dalam
diri manusia yang menghasilkan tingkah laku, seperti firman Allah berikut ini :
“ ...sesunggulmya
Allah tidakmerobah keadacin suatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri... ” (QS. Ar-ra’d: 11).
Kata nafs
digunakan juga untuk menunjuk kepada “diri Tuhan ” (kalau istilah ini
dapat diterima), seperti dalam firman- Nya surat al-An’am: 12 “Allah
mewajibkan atas diri-Nya menganugerahkan rahmat
Secara umum
dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia, menunjuk
kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.
Dalam pandangan
al-Qur’an nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempuma untuk berfungsi menampung
serta mendo- rong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi
dalam manusia inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan diberi perhatian lebih
besar.
“Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaanya),
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketaqwaannya “ (QS. As-Syams: 7-8).
Mengilhamkan
dalam ayat di atas, berarti: memberinya potensi agar manusia melalui “nafs”
dapat mengungkapkan makna baik dan buruk serta dapat mendorongnva untuk
melakukan kebaikan dan keburukan.
Di sini antara
lain terlihat perbedaan pengertian kata ini menurut Al-Qur’an dengan
terminologi kaum sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa:
“nafs ” dalam pengertian kaum sufi adalah sesuatu yang melahirkan sat
tercela anperilaku buruk". Pengertian
kaum sufi ini sama dengan penjelasan Kamus besar Bahasa Indonesia yang
antaralain menjelaskan arti kata nafsu, sebagai "Dorongan hati yang
kuat untuk berbuat kurang baik’’.
Walaupun
al-Quran menegaskan bahwa manusia berpotensi positif dan negatif, namun
diperoleh pula isyarat bahwa hakekatnya potensi positif manusia lebih kuat dan
potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan kebih kuat dari daya tarik
kebaikan. Karena itu, manusia dituntut agar memeliara kesucian nafs dan
tidak mengotorinya (QS. As-Syams: 9-10).
Bahwa potensi
positif lebih besar dari potensi negatif di- pahami oleh sekian pakar bukan
saja dari adanya fitrah keberagamaan seperti dikemukakan di atas, tetapi juga
dari beberapa isyarat Al-Qur’an, antara lain:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesjuai de- ngan kesangupannya. Ia mendapatpahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari keja- hatan) yang dikerjakannya. (QS. Al-Baqoroh: 286).
Kata “ksabat”
yang dalam ayat di atas menunjuk kepada usaha baik, sehingga memperoleh
ganjaran adalah patron yang digunakan untuk menunjukkan kepada hal-hal yang
sulit dan lebih berat. Ini menurut pakar Al-Qur’an, Muhammad Abduh,
mengisyaratkan bahwa manusia pada dasamya diciptakan Allah untuk melakukan
kebaikan.
Ayat lain yang
sejalan dengan isyarat di atas adalah fuman-Nya:
Hai manusia,
apakah yang telah memperdayakan
kamu (berbuat durhaka) terhadcip Tuhanmu YangMaha Pemurah. Yang telah
menciptakan kamu lalu menyetnpurnakan ke- fadianmudan menjadikan(susunan tubuh)
mu seimbang”. (al-Infithar:
6-7)
Kata Fa
’adalak” dipahami oleh sementara pakar semacam Yusuf Ali sebagai
kecenderungan berbuat adil. Pendapat ini cukup beralasan, karena dengan
pemahaman semacam itu, menjadi amat lurus kecaman Allah terhadap manusia yang
men- durhakai-Nya.
Di sisi lain
ditemukan pula isyarat bahwa nafs merupakan wadah. Finnan Allah dalam surat
Ar-ra’d: 11 yang menyatakan bahwa “Allah tidak merobah nasib suatu kaum
sampai mereka merobah apa yang terdapat dalam nafs mereka " mengisyaratkan
hal tersebut. Apa yang terdapat dalam nafs dalam konteks ayat ini adalah
idea dan kemampuan keras. Ini berarti nafs menampung kedua hal tersebut, dan perubahan
kedua hal ini merupakan mutlak bagi terjadinya perubahan dalam dunia nyata. Ide
dan kemauan satu kelompok masyarakat bukan perorangan dapat merubah masyarakat,
ide saja atau kemauan saja tidak cukup untuk menciptakan perubahan.
Tetapi bukan
hanya ide dan kemauan yang ditampung oleh wadah nafs, didalamnya juga
terdapat apa yang kita namai nurani. Inilah yang mengantar manusia menyesali
perbuatannya, merasa berdosa atas kesalahan-kesalahannya, walaupun ia sendiri
boleh jadi secara lahiriah menutup-nutupi kesalahan itu dengan berbagai dalih.
Isyarat tentang adanya nurani dalam nafs manusia dikemukakan Al-Qur ’an antara
lain sebagai berikut:
“Bahkan
manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri. Meskipun dia mengemukakan
alasan-alasannya ”(QS Al-
Qiyamah: 14-15).
Kecenderungan
nurani lahir dari pendekatan kepada Allah, sedang kegelapan muncul dari
kedurhakaan. (Bahkan sehingga menjadi berkarat hati mereka akibat dosa-dosa
yang mereka lakukan).
Al-Qur’an
menjelaskan adanya tiga macam tingkat nafs, sesuai kecerahan dan kegelapan: Nafsul
Muthmainnah (yang tenang), nafsul Lawamah (yang selalu mengecam an
menyesali kesalahan) dan nafsul ammarah bissu' (yang selalu mendorong
manusia ke arah negatif).
Lebih jauh,
al-Qur’an mengisyaratkan bahwa yang terdapat dalam wadah nafs bukan hanya ide/pengetahuan
yang disadari manusia serta kehendak nuraninya, tetapi nafs juga menampung
pengetahuan yang diterpendam yang tidak disadari manusia serta kehendak
nuraninya, tetapi nafs j uga menampung pengetahuan yang terpendam yang tidak lagi
disadari oleh pemiliknya, karena berada di bawah sadarnya. Dalam kaitan ini,
Allah berfirman:
"Dan
jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka se sungguhnya Dia mengetahui mengetahui
rahasia dan yang lebih tersembunyi(QS. Thaha: 7).
Yang lebih
tersembunyi dari rahasia adalah “apa yang terlintas dalam benak/nafs
yang oleh yang bersangkutan sendiri tidak lagi diketahuinya”. Demikian
dikemukakan oleh para pakar Tafsir abad VI Al-Thabary dalam kitab tafsimya “Majma
’al- Bayan”. Sebelumnya klialifah keempat, Ali Bin Abi thalib, pemah
berkata: “Tidak
seorangpun menyembunyikan sesuatu kecuali nampak pada ucapannya atau air
mukanya “
Apa yang
terdapat dalam nafs dapat juga muncul dalam mimpi, yang oleh al-Qur’an
pada garis besarya dibagi dalam dua bagian pokok, pertama dinamainya ru ’ya
dan kedua dinamainya adhghasu ahlam; yang pertama dipahami dengan |
gambaran/simbol dari peristiwa-peristiwa yang telali, sedang dan atau akan
dialami dan yang belum/tidak terlintas dalam benak yang memimpikannya, sedang
yang kedua lahir ari keresahan | dan atau perhatian manusia terhadap sesuatu,
serta hal-hal yang telah berada dibahwa sadarnya.
3. QALB
Kata qalb
terambil dari akar kata yang bermakna membalik, karena seringkali
laberbolak-balik, sekali senang sekali susah, sekali setuju dan sekali menolak,
ia amat berpotensi untuk tidak konsisten. Al-Qur’an pun menggambarkan demikian,
ada yang baik, ada pula sebaliknya. Berikut beberapa | contoh:
1. Sesungguhnya
yang demikian terdapat peringatan/ pengajaran bagi yang memiliki qalbu atau
mencurahkan pendengaran lagi menjadi saksi (QS.Qaf :37).
2.
Kami
jadikan/campakkan di dalam qalbu orang yang mengikutinya (Isa as) kasih sayang
dan rahmat (QS. al- | Hadid: 27)
3.
Kami akan
campakkan kedalam hati mereka rasa takut | (QS. Ali-Imran: 151).
4.
Dia (Allah)
mencitakan keimanan dan menghiasisnyadi qalbu kamu (QS. al-Hujurat: 7).
Dari sini dapat
dipahami mengapa yang dituntut untuk di pertanggungjawabkan hanya isi qalbu
bukan isi nafs:
“Allah menuntut tangungjawab kamu menyangkut apa yang dilakukan
oleh qalbu kamu ” (QS.
al-Baqarah: 225). Namun dinyatakan bahwa “Allah lebih mengetahui (dari kamu
sendiri) apa yang terdapat dalam nafs/diri kamu ” (QS. al- Isra’: 25).
Di sisi lain
seperti dikemukakan di atas, bahwa nafs adalah sisi “dalam” manusia. qalbu pun
demikian, hanya saja qalbu berada dalam kotak tei sendiri yang berada dalam
kotak besar nafs.
Dalam keadaanya
sebagai kotak/wadah, maka tentu saja ia dapat diisi dan atau di ambil isinya,
seperti yang digambarkan oleh ayat berikut :
“kami
cabut/angkat apa yang terdapat dalam qalbu mereka rasa iri, sehingga mereka
semua bersau- dara ” (QS.
al-Hijr: 47).
Ayat yang lain
menyebutkan “.. belum lagi masuk keimanan ke dalam qalbu mereka” (QS.
al- Hujurat: 14), bahkan al-Qur’an menggambarkan ada qalbu yang
ditutup/disegel: “Khalama allahu 'ala qulubihim ” (QS. al- Baqarah: 7).
Sehingga wajarjikaal-Qur’an menyatakan bahwa ada kunci-kunci penutup qalbu (QS.
Muhammad: 7). Wadah qalbu dapat diperbesar atau diperkecil/dipersempit. la
diperlebar dengan amal—amal kebajikan serta olah jiwa “Mereka itulah yang
diperluas qalbunya untuk menampung taqwa” (QS. al-Hujurat: 3). Ayat yang
lain menyebutkan bahwa: “Siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, Dia
menjadikan dada (qalbunya) sempit lagi sesat “ (OS. al- An’am: 125).
Perlu
ditambahkan bahwa al-Qur’an sesuai dengan kaidah bahasa Arab sering kali
menggunakan bagian dari sesuatu untuk menunjuk keseluruhan bagian-bagiannya
seperti menggunakan kata sujud dalam arti shalat yang mencakup berdiri, ruku’
dan lain-lain, biasajuga al-Qur’an menyebut sesuatu yang menggam- barkan
keseluruhan bagian-bagian tetapi yang dimaksud hanya- lah salah satu dari bagiannya
seperti firman-Nya: “mereka me- masukkan jari jari mereka ke dalam
telinganya”. al- baqarah: 20), dalam arti "ujungjarijari”.
Al-Qur'an terkadang menggunakan kata nafs dalam arti qalbu. Biasanyajuga menyebut
tempat sesuatu tetapi yang dimaksud adalah isinya seperti Kata dada dalam ayat
di atas adalah tempat qalbu, sebagai- mana ditegaskan:
“Sesungguhnya
bukan mata yang buta tetapi qalbu yang berada di dalam dada ” (QS. al-Hajj: 46)
Dalam beberapa
ayat, qalb yang merupakan wadah itu dipahami dalam arti “alat” seperti
dalam firman-Nya: "Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu kamu tidak
mengetahui sesuatu, maka Dia memberikan kamu (alat) hati, agar kamu bersyukur
(menggunakan-Nya untuk memperoleh pe- ngetahuan) “ (QS. an-Nahl: 78).
Membersihkan qalb
adalah salah saUi cara untuk memperoleh pengetahuan. Imam Ghazali memberi
contoh mengenai qalb sebagai wadah pengetahuan serta cara mengisinya.
“kalau kita membayangkan satu kolam yang digali di tanah, maka untuk mengisinya
dapat dilakukan dengan mengalirkan air sungai dari atas ke dalam kolam itu;
tetapi bisa juga dengan menggali dan
menyisihkan
tanah yang memenuhi kolam dan air itu, jauh lebih jernih dari air sungai yang
mengalir dari atas”. Kolam adalah qalb, air adalah pengetahuan, sungai adalah
panca indera dan eksperimen. Sungai (panca indera) dapat dibendung/ditutup,
selama tanali yang berada di kolam (qalb) dibersihkan agar air (pengetahuan)
dari mata air memancar ke atas (kolam).
Salah satu
makna ayat an-Anfal: 8 ini adalah bahwa Allah menguasai qalb manusia
sehingga mereka merasakan kegunda- han, kesulitan dapat bermohon
kepada-Nyauntuk menghilangkan kerisauan dan penyakit qalb yang
dideritanya. Ayat ini sangat berkaitan dengan firman-Nya dalam QS. Ar-Ra’d: 2
8: ‘ ‘Sesung- guhnya dengan mengingat Allah hati akan tentram
4. Ruh
Berbicara
tentang ruh dalam Al-Qur ’ an menj elaskan dalam Surat al-Isra’ ayat 85 berikut
ini:
“Mereka berlanya tentang ruh, katakanlah ruh
adalah urusan Tuhanku, kamu tidak diberi ilmu kecuali scdikit” (QS. al-Isra’: 85).
Yang menambah
sulitnya persoalan adalah bahwa kata ruh terulang di dalam al-Qur’an sebanyak
dua puluh empat kali dengan berbagai konteks dan berbagai makna dan tidak semua
berkaitan dengan manusia. Dalam surat al-Qadar, misalnya dibicarakan tentang turunnya
malaikat dan ruh pada malam Lailatul qadar. Adapun uraian tentang ruh
yang tertera dalam al-Qur’an adalah sebagaimana berikut ini.
Kata ruh yang
berkaitan dengan manusia juga dalam konteks yang bermacam-macam, ada yang hanya
di anugerah- kan Allah kepada manusia pil ihan-Nya seperti dalam QS. al-
Ghafir: 15 yang di pahami oleh sementara pakar sebagai wahy u yang dibawa
malaikat jibril, ada juga yang dianugerahkan kepada orang-orang mu'min (QS.
al-Mujadilah: 22, dan di sini dipahami sebagai dukungan dan peneguhan
hati/kekuatan batin dan ada juga yang dianugerahkan-Nya kepada seluruh manusia:
“kemudian kuhembuskan kepadanya dari ruh-Ku ” (QS. Al-Hijr: 29). Apakah
mb di sini berarti nyawa? ada yang berpendapat demikian ada juga yang menolak
pendapat ini, karena dalam QS. al-Ma'minun: 101 dijelaskan bahwa yang
ditiupkanya ruh maka menjadilah makhluk ini 'khalq akhar ’ makhluk yang
unik yang berbeda dari makhluk ini,... sedang nyawa juga dimiliki oleh oi ang
utan misalnya, kalau demikian nyawa bukan unsur arg menjadikan manusia makhluk
yang unik.
Demikianlah
terlihat al-Qur "an berbicara tentang ruh dalam maknayang beraneka ragam,
sehingga sungguh sulit untuk menetapkan maknanya apalagi berbicara tentang
substansinya.
5. ‘Aql (akal)
Kata ‘aql
(akal) tidak ditemukan dalam al-Qur’an, yang ada hanya bentuk kata keija masa
kini dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali
pengikat, penghalang. Al-Qur 'an menggunakannya bagi sesuatu yang mengikat/menghalangi
seseorJng terjerumus dalam kesalahan/dosa. Apakah sesuatu itu? al-Qur’an
tidak menjelaskan secara eksplisit namun dari konteks ayat-ayat yang
menggunakan akar kata ‘aql dapat dipahami bahwa ia antara lain adalah:
Pertama, daya untuk memahami dan mdngambarkan sesuatu.
Seperti firman-Nya: “Demikian itulahperumpamaan- perumpamaan kami kepada
manusia tetapi tidak ada yang memahaminnya kecuali orang-orang alim (berpenge-
tahuan) ” (QS. al-Ankabut: 43).
Daya manusia
dalam hal ini berbeda-beda Ini di isyaratkan dalam al-Qur’an antara lain pada ayat-ayat
yang berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih berganti malam dan siang
dan lain-lain. Ada yang dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah SWT bagi “orang-orang
yang berakal" (QS. Al- Baqarah: 164) dan ada juga li ulil albab
yang juga dengan makna yang sama, tetapi mengandung pengeitian lebih tajam dari
sekedar memiliki pengetahuan/daya paham.
Keaneka ragaman
akal dalam konteks menarik makna dan menyimpulkannya terlihat juga dari
penggunaan istilah-istilah
semacam (nazar,
tafakkur, iadabbur) dan sebagainya yang kesemuaanya mengandung makna atau
mengantar kepada pemahaman dan kemampuan mengerti.
Kedua, dorongan moral, seperti dalam firman-Nya :
Dan janganlah dekati perbuatan-perbuatan keji
yang nampak atau tersembunyi jangan juga membunuh jiwa yang diha- ramkan Allah
kecuali dengan sebab yang benar, demikian itu di wasiatkan Tuhan kepadamu,
semoga kamu memiliki dorongan moral meninggalkannya ” (QS. Al-An' am: 151).
Ketiga, daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan
serta “hikmah”. Untuk maksud ini biasanya digunakan kata “rusyd”. Daya ini
menggabungkan kedua daya di atas, sehingga ia mengandung daya memahami, daya
menganalisa dan menyim- pulkan serta dorongan moral yang disertai dengan
kematangan dalam ber”fikir”. Seseorang yang memiliki daya nalar yang kuat
bolehjadi tidak memiliki dorongan moral yang kuat.
Boleh jadi juga
seorang yang memiliki dorongan moral, tidak memiliki daya nalar yang kuat,
tetapi seorang yang memiliki “rusyd” maka dia telah menggabungkan keistimewaan
keduanya.
Akal digunakan
al-Qur’an untuk ketiga makna itu, sehingga kita dapati bahwa daya pikir semata
atau daya rasa pun, belum lagi mencerminkan maknasebenamya dari akal, tetapi ia
adalah dorongan moral untuk melakukan kebaikan dan menghindar dari kesalahan,
karena adanya untuk berpikir, memahami persoalan. Dari sini dapat dimengerti
mengapa penghuni neraka di hari kemudian berkata: "Sebenamya karrii
mendengar dan berakal-.maka pasti kami tidak masuk penghuni neraka" (QS.Al-Mulk:
10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar