Minggu, 10 April 2016

Studi KeIslaman



MANUSIA DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN
Manusia bukan sekadar makhluk menyusui saja yang hanya makan , minum dan berhubungan seks. Ia memiliki potensi lebih dari itu yang ada dalam dirinya, yang menjadikannya dalam al-Qur’an makhluk unik, berbeda dengan yang lain.  A. Carrel mengemukakan dalam bukunya Man then unknowen mengakhiri pasal pertama uraiannya entang kebutuhan mengenal manusia lebih baik dengan penegasan: “ Jelas sekali bahwa semua yang telah dihasilkan para pakar dalam bidsng studi tentang manusia belum pada cukup/tuntas.  Pengetahuan kita tentang diri kita pada umumnya masih pada tahap awal”.  Kitab suci al-Qur’an dan Hadisr-hadist Nabi Muhammad saw.  Diperoleh informasi serta isyarat-isyarat yang boleh jadi dapat mengungkap sebagian dari misteri makhluk ini. 
 secara tegas dan ganblang al-Qur’an mengemukakan bahwa manusia pertama diciptakan dari unsur tanah dan ruh Ilahi  melalui proses, namun tidak dijelaskan rinciannya.  Reproduksi manusia juga dikemukakan al-Qur’an tahapan-tahapannya tetapi tahapan yang dijelaskan lebih banyak berkaitan dengan unsur tanahnya, bukan yang berkaitan dengan ruh Ilahi.
Isyarat menyangkut isi psikis, rokhaniah manusia dikemukakan dalam uraian al-Qur’an tentang sifat-sifatnya yang positif/negatif, serta pada ayat-ayat yang berbicara tentang fitrah, nafs, ruh dan akal. Yusuf Qordawi(1977:33) pernah mengatakan “Al-Qur’an adalah kitab manusiawi.  Al-Qur’an seluruhnya berbicara tentang manusia”.
Masyarakat Islam dibentuk karena ideologinya yaitu Islam, kata Fazlur Rahman (1980:43).  Ideologi adalah Weltanschaung, yang menjelaskan hakikat realitas dalam perspektif  tertentu.  Ideologi adalah cara memandang realitas.  Diantara realitas penting yang diulas ideology adalah manusia.  “ Toute`ideologie precise d`emblee, tacitemen on explicitement, la nature de` individu et la place quilui est assignee daus lee group, en fontion de l`objectif social pousuiri.  Paur line religion eschatologique come l` Islam, Dieu sera la reference primordial et unique puisqu’ll est, a la ois, I origine et le fin de la destine a hujnaine”, ditulis Marcel A. Boisard(1979:84) ketika mengantarkan tulisannya tentang pandangan Qur’ani mengenai manusia dalam bab Les Fils d’ Adam.
Adanya anggapan  bahwa Al-Qur’an hanya berbicara tentang Tuhan sudah menjadi keheranan para filosofi Muslim.  Menurut Muthahari al-Qur’an secara gamblang menggambarkan citra manusia, yang tidak mungkin diberikan oleh selain-Nya.  Siapa diantara para tokoh filosof yang sampai pada kesimpulan bahwa manusia itu tidak saja eksitensial tetapi ia adalah khalifah, pemakmur bumi .

Walaupun Boisard mengakui pentingnya filsafat antropologis dalam Islam, dengan menjelaskan bahwa al-Qur’an diwahyukan untuk memperkenalkan Tuhan kepada manusia, bukan untuk menjelaskan manusia “ non pour expil quer I’ humain” (Boisard, 1979:84).  Karena itu, dalm seluruh bukunya, Boisard hamper tidak pernah membahas tentang karekterisstik manusia menurut al-Qur’an, seperti lazimnya filsafat manusia (philoshopie de I’homme).
Dirk Bakker (dalam Abuasya, 1999) dalam bukunya Man in the Qur’an, mengulas manusia dari segi penciptaannya, hubungannya dengan dunia, sesama manusia, Tuhan dan fungsi manusia sebagai hamba Tuhan, tetapi tidak membahas principle d’ etre manusia.  Dalam berbagai perspektif(iptek. Politik, biologi,  sosial) yang memberikan kedudukan manusia yang istimewa makhluk ibadah.
Adalah Rahman (1980), ia menjelaskan perbedaan manusia dengan makhluk lain.  Semuanya dapat disimpulkan dalam kalimatnya, “The only difference is that while every other creature follow its  unique pre velege and the unique risk of  man” (Rahman, 1980:24).
Rahman mengulas tentang manusia dengaan melihat pandangan al-Qur’an tentang kesusukan manusia sebagai individu dan anggota masyarakat.  Ia tidak memulai dari konsep-konsep dasar yang digunakan al-Qur’an untuk mengabstrasikan manusia.  Dalam tersebut, juga dalam tulisan lain Rahman (1980) yang membahas amanah sebagai inti kodrat manusia.  Uraian Rahman tidak jauh berbeda dengan pembahasan Al-Ghazali yang lebih klasik(lihat,1960).
Munthar i(1986) membahas karakteristik khas manusia yang lebih ”maju” dari AlGazali; juga tulisan pendek dari AlFaruqi(1404: 332).  Dan sayangnya, seperti Fazlur Rahman, mereka meniliti ayat-ayat  al-Qur’an yang berkenaan dengan manusia,  lalu  menyimpulkan secara induktif.
Al-Qur’an memberi makna pada konsep-konsep dasar tentang manusia.  Dengan perkataan lain, kita mengidentifikasi istilah-istilah al-Qur’an tentang manusia, kemudian mengenal semantik dari setiap istilah itu , sebagaimana digunakan dalam al-Qur’an.  Tidak kurang pentingnya adalah memahami konsep tentang potensi dan struktur kemanusia.  Merujuk kepada hasil Simposium Nasional Psikologi Islam I dan II dapat disusun pra-konsep struktur jiwa manusia yang kembali bangunan “konsep manusia” dikaitkan dengan pandangan Pemikir muslim.

1.   FITRAH

Dari segi bahasa kata fitrah, terambil dari kata Fathir yang berarti belahan, dari makna ini lahir makna-makna baru antara lain, muncul, kejadian dan penciptaan, konon sahabat nabi Ibnu Abbas tidak tahu persis apa arti kata Fathir (dari akar kata yang sama dengan kata fitrah) sampai ia mendengar pertengkaran antara dua orang menyangkut kepemilikan sebuah sumur. Salah seorang berkata ana fathartu. Saat itu Ibnu Abbas memahami bahwa si pengucap mengaku bahwa dia yang menjadikannya/menggalinya pertam memakai, dan sejak itu pula Ibnu Abbas mengetahui bahwa Fathir digunakan untuk makna kejadian/penciptaan sejak semula.
Fitrah manusia adalah “apa yang menjadi kejadiannya/ bawaannya sejak lahir”. Dalam Al-Qur’an kata ini dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak dua puluh delapan kali, empat belas diantaranya dalam konteks uraian tentang bumidan atau langit. Sisanya dalam konteks pembicaraan tentang manusia, baik pengakuannya sebagai makhluk ciptaan Allah, maupun berkaitan dengan uraian tentang fitrah keagamaan yang dimilikinya. Hal terakhir ini dijelaskan dalam Al-Qur’an berikut ini:  
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (yang benar) fitrah Allah yang telah menciptakan manusian atasnya (fitrah itu). Tidak adaperubahan pada fitirah A llah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui “ (QS Ar-Ruum/30: 30).
Dari ayat di atas disimpulan bahwa manusia sejak asal kejadianya telah diciptakan Allah membawa potensi keberagaman yang benar, yang diartikan ulama sebagai tauhid.
Selanjutnya kalau kita memahami kata la pada ayat di atas dalama iti tidak bnkan jangan, maka hal ini berarti bahwa fitrah keagamaan tersebut telah ada sejak awal kejadian manusia dan ia tidak dapat dielakkan olehnya walaupun boleh jadi diabaikan atau tidak diakuinya.
Walaupun kata fitrah hanya ditemukan sekali data al-Quran dan dalam konteks keberagamaan, namun ini bukan berarti bahwa fitrah manusia hanya apa yang disebut itu. Masih ada kata-kata dalam ayat-ayat lain yang maknanya mengacu kepada fitrah, seperti misalnya firman Allah berikut ini: 
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak- anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternakdan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allahlah tempat kenbaliyang baik (surga). (QS. Ali-Imran 14).

2.  NAFS
Kata nafs dalam al-Qur’an mempunyai aneka makna, antara lain diartikan sebagai totalitas manusia seperti antara lain maksud QS. Al-Maidah: 32, dan apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku, seperti firman Allah berikut ini :
...sesunggulmya Allah tidakmerobah keadacin suatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri... ” (QS. Ar-ra’d: 11).

Kata nafs digunakan juga untuk menunjuk kepada “diri Tuhan ” (kalau istilah ini dapat diterima), seperti dalam firman- Nya surat al-An’am: 12 “Allah mewajibkan atas diri-Nya menganugerahkan rahmat
Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia, menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.
Dalam pandangan al-Qur’an nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempuma untuk berfungsi menampung serta mendo- rong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan diberi perhatian lebih besar.
 “Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaanya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketaqwaannya “ (QS. As-Syams: 7-8).
Mengilhamkan dalam ayat di atas, berarti: memberinya potensi agar manusia melalui “nafs” dapat mengungkapkan makna baik dan buruk serta dapat mendorongnva untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
Di sini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata ini menurut Al-Qur’an dengan terminologi kaum sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa: “nafs ” dalam pengertian kaum sufi adalah sesuatu yang melahirkan sat tercela anperilaku buruk".  Pengertian kaum sufi ini sama dengan penjelasan Kamus besar Bahasa Indonesia yang antaralain menjelaskan arti kata nafsu, sebagai "Dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik’’.
Walaupun al-Quran menegaskan bahwa manusia berpotensi positif dan negatif, namun diperoleh pula isyarat bahwa hakekatnya potensi positif manusia lebih kuat dan potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan kebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu, manusia dituntut agar memeliara kesucian nafs dan tidak mengotorinya (QS. As-Syams: 9-10).
Bahwa potensi positif lebih besar dari potensi negatif di- pahami oleh sekian pakar bukan saja dari adanya fitrah keberagamaan seperti dikemukakan di atas, tetapi juga dari beberapa isyarat Al-Qur’an, antara lain:
 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesjuai de- ngan kesangupannya. Ia mendapatpahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari keja- hatan) yang dikerjakannya. (QS. Al-Baqoroh: 286).

Kata “ksabat” yang dalam ayat di atas menunjuk kepada usaha baik, sehingga memperoleh ganjaran adalah patron yang digunakan untuk menunjukkan kepada hal-hal yang sulit dan lebih berat. Ini menurut pakar Al-Qur’an, Muhammad Abduh, mengisyaratkan bahwa manusia pada dasamya diciptakan Allah untuk melakukan kebaikan.
Ayat lain yang sejalan dengan isyarat di atas adalah fuman-Nya: 
Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadcip Tuhanmu YangMaha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyetnpurnakan ke- fadianmudan menjadikan(susunan tubuh) mu seimbang”. (al-Infithar: 6-7)
Kata Fa ’adalak” dipahami oleh sementara pakar semacam Yusuf Ali sebagai kecenderungan berbuat adil. Pendapat ini cukup beralasan, karena dengan pemahaman semacam itu, menjadi amat lurus kecaman Allah terhadap manusia yang men- durhakai-Nya.
Di sisi lain ditemukan pula isyarat bahwa nafs merupakan wadah. Finnan Allah dalam surat Ar-ra’d: 11 yang menyatakan bahwa “Allah tidak merobah nasib suatu kaum sampai mereka merobah apa yang terdapat dalam nafs mereka " mengisyaratkan hal tersebut. Apa yang terdapat dalam nafs dalam konteks ayat ini adalah idea dan kemampuan keras. Ini berarti nafs  menampung kedua hal tersebut, dan perubahan kedua hal ini merupakan mutlak bagi terjadinya perubahan dalam dunia nyata. Ide dan kemauan satu kelompok masyarakat bukan perorangan dapat merubah masyarakat, ide saja atau kemauan saja tidak cukup untuk menciptakan perubahan.
Tetapi bukan hanya ide dan kemauan yang ditampung oleh wadah nafs, didalamnya juga terdapat apa yang kita namai nurani. Inilah yang mengantar manusia menyesali perbuatannya, merasa berdosa atas kesalahan-kesalahannya, walaupun ia sendiri boleh jadi secara lahiriah menutup-nutupi kesalahan itu dengan berbagai dalih. Isyarat tentang adanya nurani dalam nafs manusia dikemukakan Al-Qur ’an antara lain sebagai berikut: 
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri. Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya ”(QS Al- Qiyamah: 14-15).

Kecenderungan nurani lahir dari pendekatan kepada Allah, sedang kegelapan muncul dari kedurhakaan. (Bahkan sehingga menjadi berkarat hati mereka akibat dosa-dosa yang mereka lakukan).
Al-Qur’an menjelaskan adanya tiga macam tingkat nafs, sesuai kecerahan dan kegelapan: Nafsul Muthmainnah (yang tenang), nafsul Lawamah (yang selalu mengecam an menyesali kesalahan) dan nafsul ammarah bissu' (yang selalu mendorong manusia ke arah negatif).
Lebih jauh, al-Qur’an mengisyaratkan bahwa yang terdapat dalam wadah nafs bukan hanya ide/pengetahuan yang disadari manusia serta kehendak nuraninya, tetapi nafs juga menampung pengetahuan yang diterpendam yang tidak disadari manusia serta kehendak nuraninya, tetapi nafs j uga menampung pengetahuan yang terpendam yang tidak lagi disadari oleh pemiliknya, karena berada di bawah sadarnya. Dalam kaitan ini, Allah berfirman:
"Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka se sungguhnya Dia mengetahui mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi(QS. Thaha: 7).

Yang lebih tersembunyi dari rahasia adalah “apa yang terlintas dalam benak/nafs yang oleh yang bersangkutan sendiri tidak lagi diketahuinya”. Demikian dikemukakan oleh para pakar Tafsir abad VI Al-Thabary dalam kitab tafsimya “Majma ’al- Bayan”. Sebelumnya klialifah keempat, Ali Bin Abi thalib, pemah

berkata: “Tidak seorangpun menyembunyikan sesuatu kecuali nampak pada ucapannya atau air mukanya
Apa yang terdapat dalam nafs dapat juga muncul dalam mimpi, yang oleh al-Qur’an pada garis besarya dibagi dalam dua bagian pokok, pertama dinamainya ru ’ya dan kedua dinamainya adhghasu ahlam; yang pertama dipahami dengan | gambaran/simbol dari peristiwa-peristiwa yang telali, sedang dan atau akan dialami dan yang belum/tidak terlintas dalam benak yang memimpikannya, sedang yang kedua lahir ari keresahan | dan atau perhatian manusia terhadap sesuatu, serta hal-hal yang telah berada dibahwa sadarnya.

3. QALB
Kata qalb terambil dari akar kata yang bermakna membalik, karena seringkali laberbolak-balik, sekali senang sekali susah, sekali setuju dan sekali menolak, ia amat berpotensi untuk tidak konsisten. Al-Qur’an pun menggambarkan demikian, ada yang baik, ada pula sebaliknya. Berikut beberapa | contoh:
1.     Sesungguhnya yang demikian terdapat peringatan/ pengajaran bagi yang memiliki qalbu atau mencurahkan pendengaran lagi menjadi saksi (QS.Qaf :37).
2.                  Kami jadikan/campakkan di dalam qalbu orang yang mengikutinya (Isa as) kasih sayang dan rahmat (QS. al- | Hadid: 27)
3.                  Kami akan campakkan kedalam hati mereka rasa takut | (QS. Ali-Imran: 151).
4.                  Dia (Allah) mencitakan keimanan dan menghiasisnyadi qalbu kamu (QS. al-Hujurat: 7).
Dari sini dapat dipahami mengapa yang dituntut untuk di pertanggungjawabkan hanya isi qalbu bukan isi nafs:
“Allah menuntut tangungjawab kamu menyangkut apa yang dilakukan oleh qalbu kamu ” (QS. al-Baqarah: 225). Namun dinyatakan bahwa “Allah lebih mengetahui (dari kamu sendiri) apa yang terdapat dalam nafs/diri kamu ” (QS. al- Isra’: 25).
Di sisi lain seperti dikemukakan di atas, bahwa nafs adalah sisi “dalam” manusia. qalbu pun demikian, hanya saja qalbu berada dalam kotak tei sendiri yang berada dalam kotak besar nafs.
Dalam keadaanya sebagai kotak/wadah, maka tentu saja ia dapat diisi dan atau di ambil isinya, seperti yang digambarkan oleh ayat berikut :
“kami cabut/angkat apa yang terdapat dalam qalbu mereka rasa iri, sehingga mereka semua bersau- dara ” (QS. al-Hijr: 47).
Ayat yang lain menyebutkan “.. belum lagi masuk keimanan ke dalam qalbu mereka” (QS. al- Hujurat: 14), bahkan al-Qur’an menggambarkan ada qalbu yang ditutup/disegel: “Khalama allahu 'ala qulubihim ” (QS. al- Baqarah: 7). Sehingga wajarjikaal-Qur’an menyatakan bahwa ada kunci-kunci penutup qalbu (QS. Muhammad: 7). Wadah qalbu dapat diperbesar atau diperkecil/dipersempit. la diperlebar dengan amal—amal kebajikan serta olah jiwa “Mereka itulah yang diperluas qalbunya untuk menampung taqwa” (QS. al-Hujurat: 3). Ayat yang lain menyebutkan bahwa: “Siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, Dia menjadikan dada (qalbunya) sempit lagi sesat “ (OS. al- An’am: 125).

Perlu ditambahkan bahwa al-Qur’an sesuai dengan kaidah bahasa Arab sering kali menggunakan bagian dari sesuatu untuk menunjuk keseluruhan bagian-bagiannya seperti menggunakan kata sujud dalam arti shalat yang mencakup berdiri, ruku’ dan lain-lain, biasajuga al-Qur’an menyebut sesuatu yang menggam- barkan keseluruhan bagian-bagian tetapi yang dimaksud hanya- lah salah satu dari bagiannya seperti firman-Nya: “mereka me- masukkan jari jari mereka ke dalam telinganya”. al- baqarah: 20), dalam arti "ujungjarijari”. Al-Qur'an terkadang menggunakan kata nafs dalam arti qalbu. Biasanyajuga menye­but tempat sesuatu tetapi yang dimaksud adalah isinya seperti Kata dada dalam ayat di atas adalah tempat qalbu, sebagai- mana ditegaskan:
“Sesungguhnya bukan mata yang buta tetapi qalbu yang berada di dalam dada ” (QS. al-Hajj: 46)
Dalam beberapa ayat, qalb yang merupakan wadah itu dipahami dalam arti “alat” seperti dalam firman-Nya: "Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu kamu tidak mengetahui sesuatu, maka Dia memberikan kamu (alat) hati, agar kamu bersyukur (menggunakan-Nya untuk memperoleh pe- ngetahuan) “ (QS. an-Nahl: 78).
Membersihkan qalb adalah salah saUi cara untuk memper­oleh pengetahuan. Imam Ghazali memberi contoh mengenai qalb sebagai wadah pengetahuan serta cara mengisinya. “kalau kita membayangkan satu kolam yang digali di tanah, maka untuk mengisinya dapat dilakukan dengan mengalirkan air sungai dari atas ke dalam kolam itu; tetapi bisa juga dengan menggali dan

menyisihkan tanah yang memenuhi kolam dan air itu, jauh lebih jernih dari air sungai yang mengalir dari atas”. Kolam adalah qalb, air adalah pengetahuan, sungai adalah panca indera dan eksperimen. Sungai (panca indera) dapat dibendung/ditutup, selama tanali yang berada di kolam (qalb) dibersihkan agar air (pengetahuan) dari mata air memancar ke atas (kolam).
Salah satu makna ayat an-Anfal: 8 ini adalah bahwa Allah menguasai qalb manusia sehingga mereka merasakan kegunda- han, kesulitan dapat bermohon kepada-Nyauntuk menghilangkan kerisauan dan penyakit qalb yang dideritanya. Ayat ini sangat berkaitan dengan firman-Nya dalam QS. Ar-Ra’d: 2 8: ‘ ‘Sesung- guhnya dengan mengingat Allah hati akan tentram

4. Ruh
Berbicara tentang ruh dalam Al-Qur ’ an menj elaskan dalam Surat al-Isra’ ayat 85 berikut ini:
 “Mereka berlanya tentang ruh, katakanlah ruh adalah urusan Tuhanku, kamu tidak diberi ilmu kecuali scdikit” (QS. al-Isra’: 85).
Yang menambah sulitnya persoalan adalah bahwa kata ruh terulang di dalam al-Qur’an sebanyak dua puluh empat kali dengan berbagai konteks dan berbagai makna dan tidak semua berkaitan dengan manusia. Dalam surat al-Qadar, misalnya dibicarakan tentang turunnya malaikat dan ruh pada malam Lailatul qadar. Adapun uraian tentang ruh yang tertera dalam al-Qur’an adalah sebagaimana berikut ini.
Kata ruh yang berkaitan dengan manusia juga dalam konteks yang bermacam-macam, ada yang hanya di anugerah- kan Allah kepada manusia pil ihan-Nya seperti dalam QS. al- Ghafir: 15 yang di pahami oleh sementara pakar sebagai wahy u yang dibawa malaikat jibril, ada juga yang dianugerahkan kepada orang-orang mu'min (QS. al-Mujadilah: 22, dan di sini dipahami sebagai dukungan dan peneguhan hati/kekuatan batin dan ada juga yang dianugerahkan-Nya kepada seluruh manusia: “kemudian kuhembuskan kepadanya dari ruh-Ku ” (QS. Al-Hijr: 29). Apakah mb di sini berarti nyawa? ada yang berpendapat demikian ada juga yang menolak pendapat ini, karena dalam QS. al-Ma'minun: 101 dijelaskan bahwa yang ditiupkanya ruh maka menjadilah makhluk ini 'khalq akhar ’ makhluk yang unik yang berbeda dari makhluk ini,... sedang nyawa juga dimiliki oleh oi ang utan misalnya, kalau demikian nyawa bukan unsur arg menjadikan manusia makhluk yang unik.
Demikianlah terlihat al-Qur "an berbicara tentang ruh dalam maknayang beraneka ragam, sehingga sungguh sulit untuk menetapkan maknanya apalagi berbicara tentang substansinya.
5. ‘Aql (akal)
Kata ‘aql (akal) tidak ditemukan dalam al-Qur’an, yang ada hanya bentuk kata keija masa kini dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali pengikat, penghalang. Al-Qur 'an menggunakannya bagi sesuatu yang mengikat/menghalangi seseorJng terjerumus dalam kesalahan/dosa. Apakah sesuatu itu? al-Qur’an tidak menjelaskan secara eksplisit namun dari konteks ayat-ayat yang menggunakan akar kata ‘aql dapat dipahami bahwa ia antara lain adalah:
Pertama, daya untuk memahami dan mdngambarkan sesuatu. Seperti firman-Nya: “Demikian itulahperumpamaan- perumpamaan kami kepada manusia tetapi tidak ada yang memahaminnya kecuali orang-orang alim (berpenge- tahuan) ” (QS. al-Ankabut: 43).
Daya manusia dalam hal ini berbeda-beda Ini di isyaratkan dalam al-Qur’an antara lain pada ayat-ayat yang berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih berganti malam dan siang dan lain-lain. Ada yang dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah SWT bagi “orang-orang yang berakal" (QS. Al- Baqarah: 164) dan ada juga li ulil albab yang juga dengan makna yang sama, tetapi mengandung pengeitian lebih tajam dari sekedar memiliki pengetahuan/daya paham.
Keaneka ragaman akal dalam konteks menarik makna dan menyimpulkannya terlihat juga dari penggunaan istilah-istilah
semacam (nazar, tafakkur, iadabbur) dan sebagainya yang kesemuaanya mengandung makna atau mengantar kepada pemahaman dan kemampuan mengerti.
Kedua, dorongan moral, seperti dalam firman-Nya :
Dan janganlah dekati perbuatan-perbuatan keji yang nampak atau tersembunyi jangan juga membunuh jiwa yang diha- ramkan Allah kecuali dengan sebab yang benar, demikian itu di wasiatkan Tuhan kepadamu, semoga kamu memiliki dorongan moral meninggalkannya ” (QS. Al-An' am: 151).

Ketiga, daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta “hikmah”. Untuk maksud ini biasanya digunakan kata “rusyd”. Daya ini menggabungkan kedua daya di atas, sehingga ia mengandung daya memahami, daya menganalisa dan menyim- pulkan serta dorongan moral yang disertai dengan kematangan dalam ber”fikir”. Seseorang yang memiliki daya nalar yang kuat bolehjadi tidak memiliki dorongan moral yang kuat.
Boleh jadi juga seorang yang memiliki dorongan moral, tidak memiliki daya nalar yang kuat, tetapi seorang yang memiliki “rusyd” maka dia telah menggabungkan keistimewaan keduanya.
Akal digunakan al-Qur’an untuk ketiga makna itu, sehingga kita dapati bahwa daya pikir semata atau daya rasa pun, belum lagi mencerminkan maknasebenamya dari akal, tetapi ia adalah dorongan moral untuk melakukan kebaikan dan menghindar dari kesalahan, karena adanya untuk berpikir, memahami persoalan. Dari sini dapat dimengerti mengapa penghuni neraka di hari kemudian berkata: "Sebenamya karrii mendengar dan berakal-.maka pasti kami tidak masuk penghuni neraka" (QS.Al-Mulk: 10)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar