Minggu, 10 April 2016

makalah histografi Islam




MAKALAH HISTORIOGRAFI ISLAM


MASA HISTORIOGRAFI ISLAM
PADA MASA KLASIK (650-1250 M)
 



                                                                                                                                




KELOMPOK: V
ABDUL SALAM (13210004)
AHMAD FITRA (13210013)
AL-RASYID (13210016)
ANICA (13210035)
DOSEN PEMBIMBING: YUDI , M.Hum

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2014

KATA PENGANTAR

            Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Segala puji bagi Allah SWT. Karena berkat serta inayah dari-Nya kami kelompok 5 dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Historiografi Islam yang berjudul “Masa Historiografi Islam pada Masa Klasik” tepat pada waktunya. 
            Adapun tujuan kami dalam pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Historiografi Islam, Selain itu juga kami dapat mempelajari serta memahami masalah-masalah perkembangan Historiografi Islam pada Masa Klasik.
            Tugas ini kami buat berdasarkan dari beberapa sumber buku yang tentunya kami pelajari terlebih dahulu sebelum kami menyusun dan membentuknya menjadi pokok bahasan dari kelompok kami. Semoga setelah terselesainya makalah ini dapat memberi wawasan pengetahuan bagi semua mahasiswa Pendidikan Agama Islam khususnya pada kelas Pendidikan Agama Islam 01 tahun ajaran 2013-2014.
            Adapun kalau ada kesalahan dalam penyusunan makalah kami mohon Bapak sebagai Dosen Pengasuh dalam mata kuliah Historiografi Islam memaklumi dan meluruskan apabila terdapat kesalahan baik itu dalam penulisan makalah maupun pokok bahasan yang dikupas dalam bahasan ini agar kami dapat memahami dengan benar sesuai dengan sejarah, fakta dan kejadiannya. Agar nantinya kami tidak mendapat kekeliruan.
Sekian pengantar dari kami kelompok 5, kami hanturkan banyak terimakasih. Wassalamu’alaikum warrahmtullahi wabarakatuh.



                                                                                                            Palembang, 18 Maret 2014






DAFTAR ISI

Kata Pengantar1
Daftar Isi2
Bab I PENDAHULUAN3
A.Latar Belakang3
B.Rumusan Masalah3
Bab II PEMBAHASAN4
A.Sejarah Historiografi Islam di Masa Klasik 4
B.Sumber Penulisan Sejarah di Masa Klasik6
C.Tema-tema Historiografi di Masa Klasik9
Bab III PENUTUP14
Kesimpulan................................................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA15







BAB I
PENDAHULUAN


A.        Latar Belakang
Pada awal sebelum masuknya Islam ke belahan dunia, banyak juga peninggalan sejarah orang terdahulu yang belum pernah diketahui oleh manusia.  Karenanya sejak Islam masuk maka banyak temuan-temuan yang dapat diketahui oleh manusia melalui peninggalan sejarah baik itu melalui lisan maupun tulisan.  Tahap melalui lisan biasanya disampaikan dari manusia ke manusia yang lain berupa berita yang didapat dari sumber sejarah yang dapat dipercaya. Sedangkan melalui tulisan yaitu diketahui melalui jalannya historiografi Islam dalam berbagai masa termasuk masa klasik.
Penulisan sejarah (historigrafi) membutuhkan sumber yang bergama, dan pengetahuan yang bermacam-macam. ia juga dibuthkan perhitungan yang tepat, dan ketekunan. Kedua sifat ini membawa sejarawan pada kebenaran, dan menyelamatkan mereka dari ketergelinciran dan kesalahan,kali ini pemakalh akan mebahas tentang historiografi pada masa penulisan awal diman terdiri dari bebarapa pembahasan yang di antaranya tentang dinasti, biografi dan al ansab.

B.        Rumusan Masalah
a.       Bagaimana perkembangan historiografi pada masa klasik?
b.      Dari manakah sumber yang didapat dalam historiografi Islam pada masa klasik?
c.       Apa saja tema-tema dalam historiografi Islam?











BAB II
PEMBAHASAN

A.                 Sejarah Historiografi Islam di Masa Klasik (650-1250 M)
Penulisan sejarah Islam pertama kali masih bersifat Arab murni, tidak ada peran Persia atau Yunani, dan penulis sejarahnya pada generasi pertama adalah orang-orang Arab. Akan tetapi, dalam perkembangannya kemudian mendapat pengaruh dari Ahli Kitab dan Persia. Generasi pertama penulis sejarah, dalam menulis mencantumkan isnad (rangkaian pemberi khabar). Biografi ini dengan cepat berkembang. Al-Zuhri adalah orang pertama yang mengembangkannya. Dia berusaha mengaitkan satu hadits dengan yang lain (Badri:1997, 45).
Menurut Husein Nashshar menyimpulkan bahwa penulisan sejarah Arab Islam tumbuh dari dua arus yang berbeda :
a.       Arus lama, yang terdiri atas cerita-cerita khayal dan folklore, yang dipengaruhi oleh corak sejarah Arab klasik yang disampaikan oleh narator-narator yang berpindah dari Arab Utara, dalam bentuk al-ansab dan al-ayyam dan cerita-cerita tentang raja-raja Arab Selatan, serta riwayat penaklukan mereka. Biasanya, arus lama ini mengambil bentuk syair. Kisah-kisah ini tidak didasarkan atas penanggalan (kronologis) kejadian, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya tidak ada hubungannya.
b.      Arus baru yang dimunculkan Islam, yaitu arus biografi, yang terdiri atas berita-berita autentik dan mendalam, cabang dari ilmu hadits, oleh karena itu melalui kritik dan seleksi, terdiri dari kisah-kisah yang benar dan terkadang juga ada khayal yang terdapat dalam diri rasul. Sejarawan mengumpulkan kisah-kisah itu, menyusunnya, menghubung-hubungkan antara satu dengan yang lain, dengan disinari oleh ayat-ayat al-Quran.

B.        Sumber Penulisan Sejarah di Masa Klasik

Masa Jahiliyah
Pada masa ini bangsa Arab sudah mengetahui peranan tulis menulis. Mereka menganggap bahwa tulis menulis adalah salah satu unsur kesempurnaan seseorang.  Ibnu Saad mengatakan, “Bangsa Arab Jahiliyah dan Permulaan Islam menilai bahwa orang yang sempurna adalah yang dapat menulis, berenang, dan melempar panah”.[1]  Bahkan Ibnu Habib al-Baghdadi sempat menulis nama-nama bangsawan juga melakukan hal itu pada masa jahiliyah dan permulaan Islam.[2]
Jadi pada masa jahiliyah bangsa Arab sudah mengetahui peranan tulis menulis.  Hanya saja mereka tidak dapat menggunakannya sebagaimana mestinya.  Hal ini karena kehidupan mereka sehari-hari memang belum memerlukan hal itu.  Namun begitu banyak sumber menyebutkan bahwa masa sebelum datangnya agama Islam di jazirah Arab sudah terdapat “kegiatan pendidikan dan penulisan”.  Sumber yang didapat itu dari pendidikan mengajar di mana kegiatan tersebut dilakukan diberbagai tempat seperti di Makkah, Tarif, Anbar, Hijrah, dan Dumat al-Jandal, telah diadakan majelis-majelis pendidikan untuk diajarkannya berbagai pengetahuan dan penulisan.  Mencatat syair termasuk kegiatan pembelajaran yang dilakukan dalam kegiatan tersebut.  Bahkan Mashdir  al-Syi’r  al-Jahili (165) mengemukakan  tidak sekedar mencatat syair, tetapi masalah-masalah yang berkaitan dengan cerita perang, kehidupan sehari-hari, kata-kata mutiara para pujangga, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kabilah itu selalu ditulisnya.  Mereka juga mencatat masalah hutang piutang dalam buku-buku lembaran pada waktu mereka masuk Islam.  Mereka juga mencatat perjanjian-perjanjian, dokumen-dokumen dan sumpah-sumpah, di samping buku agama, kata-kata mutiara, silsilah dan keturunannya .

Masa Permulaan Islam di Makkah
Tatkala Allah bermaksud menyempurnakan nikmatnya di alam raya ini, Ia mengutus Muhammad SAW sebagai Rasul. Begitu pula orang-orang yang pertama kali mendapat perintah Allah SWT.  Tetapi risalah Islam tidak mungkin membiarkan keadaan seperti itu, sebab Islam menghendaki agar umatnya melepaskan diri dari kebodohan karena ketidaktahuan terhadap tulis menulis termasuk hal yang menghalangi masalah itu, maka perintah Allah yang pertama kali diturunkan adalah perintah membaca sesuai dengan surah al-‘Alaq, 1-5.
Ayat-ayat pertama yang dibebankan kepada Rasulullah SAW ini mengisyaratkan apa yang akan terjadi tentang ilmu pengetahuan dalam Islam. Ketika Islam pun dapat beberapa orang yang dapat menulis seperti disebutka oleh Baladzuri yaitu; Abu Bakar al-Siddiq, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash, Sufyan bin Harb, dan  lain-lain.  Selain itu juga ada sejumlah wanita yang termasuk mengetahui tulis menulis, seperti Ummul Mu’minin Hafsah, Ummu Kaltsum binti ‘Uqbah, al-Syifah binti ‘Abdullah al-Quraisyiah, ‘Aisyah binti Saad, dan Karimah binti al-Miqdad.  Sedang Ummu mu’minin ‘Aisyah dan Ummu Salamah hanya dapat membaca, dan secara umum tidak dapat menulis.[3]

Masa Permulaan Islam di Madinah
Setelah kaum Muslimin hijrah ke Madinah, dakwah islam menemukan titik-titik cerahdi mana orang-orang Ansar memeluk Islam.  Keadaan pendidikan juga mengalami perubahan sebab orang-orang Ansar yang hidup sebagai bangsa yang diam dalam kebodohan.
Pada waktu Nabi masih tinggal di Makkah, orang Ansar seperti Rafi’ bin Malik juga pernah menghadap Nabi untuk belajar al-Qur’an, dan sesudah kembali ke Madinah ia mengajarkannya di sana.  Bahkan tidak cuma itu, mereka meminta agar Nabi mengirimkan guru-guru untuk mengajarkan agama dan al-Qur’an kepada mereka.  Nabi pun mengirimkan Mush’ab bin ‘Umair.
Begitulah, Nabi sangat menaruh perhatian terhadap masalah pendidikan sejak beliau masih diperangi musuh di Makkah.  Dan sesudah hijrah Nabi lebih leluasa mengembangkan ilmu.  Dan sejak itu pula beliau mengariskan kebijaksanaan-kebijaksanaandalam pendidikan yang tidak ada bandingnya sampai sekarang.

Masa Bani Umaiyah
Berdasarkan pendapat I. Goldziher dalam bukunya ‘Mohammedanische Studien’, Prof. Nicholson berpendapat bahwa hal-hal yang berkaitan dengan tulisan-tulisan prosa masa Umaiyah perlu mendapat catatan penting, sebab karya-karya mereka umumya sudah punah.  Dalam bidang sastra, semangat non agama (atheis) dan non Islam telah mempengaruhi tulisan-tulisan mereka.  Semangat yang sama juga mempengaruhi penyair yang hidup di wilayah Daulah bani Umaiyah.
Dua penulis dari masa ini yaitu Ubaid bin Syariyyah dan Wahb bin Munabbih yang memperoleh dorongan penguasa di Damaskus untuk mempelajari sejarah.  Sedangkan Musa bin ‘Uqbah (w. 141 H) dan Ibnu Ishaq di mana keduanya adalah penulis kisah-kisah perang Nabi (al-Maghazi), kemudian yang mengumpulkan hadis-hadis Nabi adalah al-Zuhri dan yang menulis kitab tentang zuhud yaitu Asad bin Musa (w. 132 H/749 M).

C.     Tema-Tema Historiografi Islam di Masa Klasik
Bentuk dasar berposisi sebagai karakter awal penulisan sejarah dalam tradisi Islam. Bentuk-bentuk ini merupakan kerangka penulisan sejarah yang berisi kisah-kisah, syair-syair dan bait puisi. Pendapat umum para peneliti historiografi tentang beberapa genre awal penulisan sejarah di kalangan Islam dan Arab, adalah meliputi khabar, annalistik (kronologis), catatan dinasti, thabaqat dan nasab.

Khabar
Khabar biasa diartikan sebagai ‘laporan’, ‘kejadian’ atau ‘cerita’. Biasanya lebih banyak berisi tentang cerita-cerita peperangan dan kepahlawanan. Karakteristik  khabar ditekankan dengan garis sanad yang mendahului tiap-tiap khabar, dan hal itu akan dihilangkan bila menginginkan keringkasan khabar itu atau sekedar menyingkirkan munculnya kecermatan pengetahuan.
Dalam khazanah historiografi, dapat disimpulkan tiga ciri khabar. Pertama, dalam khabar tidak terdapat hubungan sebab akibat antara dua atau lebih peristiwa. Tiap-tiap khabar sudah melengkapi dirinya sendiri dan tidak membutuhkan referensi pendukung.
Kedua, sesuai dengan ciri khasnya yang berakar jauh sebelum Islam, cerita-cerita perang dalam bentuk khabar tetap mempergunakan cerita pendek, memilih situasi dan peristiwa yang disenangi dan kadang menyalahi kejadian yang sebenarnya. Peristiwa selalu disajikan dalam bentuk dialog antar pelaku sehingga memudahkan ahli sejarah dalam melakukan pembacaan dan analisa.
Ketiga, bentuk khabar cukup bervariasi, sebagai cerita pertempuran yang terus-menerus dan sebagai suatu ekspresi yang artistik, khabar juga disajikan dalam bentuk puisi serta syair-syair. Banyak sedikitnya syair tergantung kemauan dan ekspresi psikologis penulis.
Terdapat pertanyaan yang agak mengganjal tentang kapan karya pertama berbentuk khabar ada dalam penulisan sejarah yang dilakukan oleh orang Islam. Literatur Islam permulaan tidak menyediakan jawaban, sementara sumber-sumber bibliografi dan kutipan penulis kontemporer juga tidak membantu. Dengan demikian terjadi jurang pemisah antara literatur Arab yang asli dengan organisasi penerbit buku-buku Islam.
Bentuk khabar di dalam berbagai ragamnya terdapat pula dalam sejarah Muslim, walaupun mereka membatasi kepada catatan peristiwa-peristiwa saja atau menulis nama-nama tanpa ada penjelasan lanjut. Sebagaimana bentuk-bentuk dasar lainnya, jarang sekali muncul apa yang disebut bentuk murni. Biasanya selalu dikombinasikan dengan unsur-unsur lain dalam penulisan sejarah. Sehingga, sebagai misal, dalam menyajikan biografi Nabi Muhammad sudah dilengkapi dengan nasab (silsilah) dan informasi lain seperti daftar nama sahabat yang berjasa dan dikenang dalam perjuangannya.
Ilmuwan sejarah yang menulis dalam bentuk khabar ini diantaranya adalah: Abu Mihnaf Luth Ibn Yahya (w. 774 M) dan al-Haitsam Ibn ‘Adi (w. 821 M) yang karyanya berupa kumpulan monograf dalam bentuk khabar dan nasab. Juga terdapat nama ‘Ali Ibn Muhammad al-Madaini (w. 831 M) yang salah satu karyanya berjudul Al-Murdifat min Quraisy (Wanita Quraisy yang Poliandri).
Selanjutnya, pada tahun-tahun kehidupan penulis itu pula historiografi dalam bentuk khabar sebagai bentuk yang berdiri sendiri dalam sejarah mulai berakhir, bentuk selanjutnya mengarah pada kronologi.

Analitik
Analitik berasal dari kata dasar anno (tahun). Historiografi dalam bentuk analitik merupakan bentuk khusus penulisan sejarah dengan menggunakan kronologis, yaitu pencantuman kejadian tiap tahun. Biasanya dimulai dengan kalimat “dalam tahun pertama” atau “ketika masuk tahun kesembilan”. Penyajian dalam bentuk ini sepenuhnya berkembang pada masa al-Thabari (wafat 310 H). Karya sejarah permulaan terbit pada dasawarsa pertama abad ke-10 M dan diteruskan sampai tahun 915 M.
Al-Thabari bernama lengkap Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid al-Thabari al-‘Amuli, adalah seorang penulis sejarah yang terkemuka. Namun pada masanya beliau lebih dikenal sebagai ahli fiqih, bahkan Ibn Nadhim menyejajarkannya dengan imam Malik dan Syafi’i. Dalam perjalanan hidupnya, banyak kitab yang telah dikarang, seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Adab al-Manasik, Adab al-Nufus dan Tahdzib Atsar. Yang masih diperdebatkan adalah tentang afiliasi politik al-Thabari terhadap Syi’ah Rafidhah.
Namun, sebelum al-Thabari juga telah berkembang penulisan dalam bentuk analitik, misalnya: (1) Sejarah Khalifah Ibn Hayyat yang ditulis sampai tahun 847 M sebagai bentuk analitik yang memulai uraiannya mengenai arti tarikh dan uraian singkat mengenai sirah nabawiyah, (2) Kitab sejarah dari Ya’qub ibn Sufyan (wafat 891 M) yang ditulis berdasar urutan tahun dengan beberapa kutipan. (3) Sejarah dari Ibn Abi Haitsamah (wafat 893 M).
Mu’in Umar menjelaskan, secara teori penulis-penulis muslim lebih dahulu berkenalan dengan penggunaan data sejarah dan sejak diperkenalkan tahun Hijriyah, mereka sampai pada kesimpulan bahwa bentuk analitik merupakan cara yang sangat menyenangkan dalam penyajian sejarah. Karena kepraktisan dan muatan isi penulisan yang lebih padat. Mungkin itu yang dijadikan alasan.
Contoh bentuk analitik ini, di antaranya ditunjukkan oleh Ibn Hajar yang berjudul al-Durar al-Kaminah fi A’yan al-Miati al-Saminah yang menyajikan biografi tokoh-tokoh terkemuka, termasuk guru-gurunya yang disusun menurut hijaiyah yang terdiri dari dua bagian, pertama disajikan menurut riwayah dan kedua dengan cara dirayah, sesuai tahun mereka meninggal.
Penulisan bentuk analitik, awalnya menggunakan klasifikasi tahun, sementara penyebutan bulan sangat sedikit. Terjadi pengecilan scope(lapangan) lintasan waktu, pada abad 14 dan 15 pasca Kristus, pengecilan itu mencapai hitungan bulan dan hari. Sedangkan kristalisasi historiografi seratustahunan (seabad) berlaku sampai akhir abad ke-13 masehi. Untuk pertama kali, perkataan “qarn” (abad) muncul dalam judul yang berhubungan dengan abad itu, misalnya karya Ibn al-Fuwaithi dan Lisanuddin ibn al-Khatib.

Catatan Dinasti
Tidak ada penulisan sejarah di masa lalu yang dapat lepas dari intervensi penguasa. Hampir seluruh catatan sejarah adalah cerita tentang kekuasaan, kemenangan perang dan kepahlawanan sang pendiri dinasti serta anak cucunya. Bahkan banyak terdapat biografi-biografi khusus yang menulis tentang raja-raja itu. Misalnya karya al-Qudla’i yang berjudul ‘Uyun al-Ma’arif. Maka tidak heran jika muncul adagium bahwa sesungguhnya sejarah adalah milik penguasa. Rakyat kecil maupun bawahan hanya menjadi footnote (catatan kaki) yang kadang malah tidak tertulis sama sekali. Namun, bagaimanapun, biografi dinasti dan penguasanya merupakan sebuah bentuk dasar historiografi Islam.
Perkataan “daulah” yang berarti peredaran dan pergiliran sebetulnya menjadi dasar kultural linguistik bagi penulisan model historiografi dinasti ini. Teori penggantian penguasa seperti pada masa al-Kindi, mengisyaratkan hal itu. Selain juga terdapat pengaruh yang besar dari budaya intelektual Persia dan Syiah.
Model penulisannya adalah menurut pergantian kekuasaan khalifah secara berurutan. Misalnya seperti Sinan ibn Tsabit yang terlebih dahulu menguraikan khalifah al-Mu’tadlid yang semasa dengannya baru kemudian menguraikan khalifah sebelumnya. Contoh biografi raja yang komprehensif adalah karya al-Haitsan ibn ‘Adi dan al-Madaini yang berjudul Biografi Mu’awiyah dan Bani Umayyah pada pertengahan abad kedua hijriyah (767 M).
Susunan dinasti dalam sejarah Islam sama halnya dengan penyajian sejarah pra Islam yang ditulis oleh penulis-penulis muslim dalam bentuk bangsa-bangsa dan dinasti-dinasti. Uraian mengenai sejarah pra Islam pada umumnya mendapat kesulitan, karena orang Islam tidak pernah menemukan sistem penentuan waktu untuk periode pra Islam, seperti waktu Sebelum Masehi (SM) yang biasa dipergunakan oleh penulis-penulis Barat.
Untuk penulisan sejarah dinasti pra Islam, penulis Arab mendapat kontribusi berarti dari khazanah Yunani, Byzantium dan Persia. Terdapat juga sedikit tambahan dari India dan Cina, namun penerjemahan itu kurang begitu lancar sebab jiwa nasionalisme yang kuat dari sejarawan kala itu macam al-Dinawari dan Miskawayh.

Thabaqat
Thabaqat berarti lapisan. Transisi masyarakat dari satu lapisan atau kelas dalam penggantian kronologis generasi mudah dilakukan. Sebagaimana qarn yang mendahului arti thabaqat, yang dalam penggunaannya berarti generasi. Ahli-ahli leksikografi mencoba menetapkan ukuran panjang yang pasti dari thabaqat. Sebagian mereka menentukan suatu lapisan generasi itu 20 tahun sedang lainnya 40 tahun. Ada juga yang berpendapat thabaqat itu 10 tahun.
Menurut penulis, thabaqat lebih mirip klasifikasi penulisan sejarah berdasarkan pada “batasan waktu” hidupnya. Dalam sepuluh tahun pertama, misalnya, terdapat tokoh-tokoh dengan kesamaan orientasi dan budaya intelektual. Maka jadilah klasifikasi sedemikian rupa yang selanjutnya ini menjadi metode tersendiri.
Dalam tradisi Islam sendiri, thabaqat merupakan sesuatu yang amat lazim. Terutama jika merujuk pada sejarah Muhammad; dalam lingkaran dan lintasan waktu perkembangan agama Islam, terdapat lapisan shahabat, tab’in, tabi’ al-tabi’in dan seterusnya. Hal ini berhubungan dengan kritik isnad dalam ‘ulum al-hadits.
Pada mulanya, sebagai contoh dalam karya ibn Sa’ad, penyusunan thabaqat dipergunakan sebagai biografi para penguasa yang penting dalam pemindahan hadits. Dalam sejarah lokal, semacam karya Washal Sejarah Wasith di dalamnya hanya dibatasi para perawi hadits. Kemudian dapat dipergunakan untuk kelas-kelas kelompok pribadi terutama yang tergolong ulama. Selanjutnya juga digunakan untuk klasifikasi kejadian-kejadian sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Dzahabi yang berjudul Tarikh al-Islam wa Thabaqati Masyahir al-‘Alam.
Yang penting dalam karya thabaqat ini ialah untuk memperoleh suatu gambaran yang nyata tentang apa yang sebenarnya harus dicari dan diteliti. Dalam karya Abu Ishaq yang berjudul Thabaqat al-Fuqaha’ seseorang menginginkan sebanyak mungkin informasi, sehingga memungkinkan mereka untuk mendapatkan biografi tokoh dalam suatu wilayah dan lokasi.
Cara alfabetis penyusunan biografi ini banyak memberikan kemudahan bagi generasi selanjutnya. Dalam kitab al-Dibaj yang disusun oleh Ibn Farhun (abad 14 M), ulama-ulama Malikiyah diuraikan sesuai nama mereka, dan ini dibagi lagi ke dalam thabaqat kemudian thabaqat disusun menurut geografis.

Nasab
Nasab adalah catatan silsilah keluarga. Bagi orang Arab, menjaga jalur keturunan, terutama bagi yang mempunyai nenek moyang tokoh terhormat menyebabkan mereka harus menuliskannya. Keuntungan posisi dan status sosial ekonomi kadang membuat orang menyalahgunakan nasab ini. Nasab, kemudian menjadi bentuk dasar bagi historiografi Islam.
Selama abad kedelapan dan sembilan masehi, para ahli filsafat sejarah kuno, pada saat yang bersamaan juga merupakan ahli dalam bidang garis keturunan. Karya-karya mereka merupakan bentuk khabar yang berisi kumpulan berbagai kelompok kabilah (suku). Salah satu monograf yang berkenaan dengan garis keturunan yang mula-mula sekali adalah Kitab Hadzfu min Nasab Quraisy mengenai keluarga kecil suku Quraisy tanpa nabi Muhammad yang disusun oleh Mu’arrij ibn ‘Amr al-Sadusi. Selain itu terdapat nama al-Zubair ibn Abu Bakkar (w. 870 M) yang menulis kitab berjudul Nasab Quraisy, walaupun kitab ini lebih banyak membahas budi pekerti orang Quraisy daripada pohon keluarganya. Sebuah kitab dari al-Baladzuri berupa biografi tokoh berjudul Kitab al-Ansab didominasi biografi khalifah. Bentuknya adalah khabar dan historiografi dinasti.
Bentuk penulisan nasab ini ada dua. Penulis bermadzhab Syi’ah, Tajuddin ibn Muhammad dalam pengantarnya untuk kitab Ghayat al-Ikhtishar fi Akhbari al-Buyutati al-‘Alawiyah, memasukkan dua macam penyajian untuk informasi garis keturunan, yaitu bentuk pohon dan bentuk mabsuth.
Sebenarnya, orang-orang Arab sejak masa lalu telah terbiasa membuat jalur keturunannya sendiri, dan ini merupakan cabang ilmu pengetahuan yang khusus dan seringkali dihubungkan dengan syair. Kebanggaan keluarga, sangat tergantung pada apa yang telah dilakukan nenek moyangnya dalam peristiwa ayyam al-A’rab (perang antara kabilah Arab) maupun peristiwa lain dan itu disusun dalam bentuk syair . Seorang sejarawan muslim India, Nizar Ahmed Faruqi dalam disertasinya berjudul Early Muslim Historiography (1979) menyatakan bahwa nasab merupakan satu-satunya sumber bagi penyusunan historiografi Islam, dengan mengambil dasar dari al-Quran surat al-Hujurât [49] ayat 13.

Biografi
Biografi merupakan bentuk yang bertahan lama di dalam ekspresi sejarah hal ini dapat di simpulkan dari kejadian-kejadian yang lalu, yang dapat dia ambil dari naskah-naskah  kerajaan atau kesultanan yang berisi mengenai tingkah laku pribadi mereka pada zamannya.
Biografi sudah merupakan suatu bagian di dalam historiografi islam  semenjak permulanya, bahkan menempati posisi yang dominan. Di dalam masyarakat islam ada beberapa factor yang menyebabkan diantaranya:
a)     Biografi nabi Muhammad SAW merupakan sumber utama bagi pembangunan masyarakat islam
b)     Meriwayatkan kehidupan Nabi Muhamaad  SAW secara terinci tergantung pada perawi secara individual, dan apakah riwayatnya itu dapat di terima  atau di tolak tergantung pada data kehidupan perawi tersebut.
c)      Perjuangan dalam menegakan islam  sebagian besar ditunjukan , oleh keunggulan-keunggulan pribadi pemimpinya, yang telah sangat berjasa di dalam perjuanganya.
Dalam hal ini sirah merupakan fase yang sangat penting dalam pertumbuhan dan pekembangan historiografi Islam. akan tetapi, asma’al-rijal yang secara umum membahas tentang biografi para sahabat, tabiun dan tabi al tabi’in. secara harfiah Asma al- Rijal merupakan nama-nama para tokoh.
prosedur yang normal penulis-penulis biografi memulai dari kelhiran dari subjek yang di tulisnya dan di akihiri dengan kewafatanya ,ini hal yang sudah biasa dalam historiografi islam, dalam hal ini terlihat dalam kitab Tarikh Baghdad yang di susun oleh Khatib al-Baghdadi dimana tanggal kelahiran dan kematian di sebutkan masing-masingnya di dalam permulaan penulisan biografi sebagai karya yang berdiri sendiri biografi di terbitkan dalam jumlah yang banyak, dimulai dari biografi nabi Muhammad SAW, ketika kegiatan penerbitan sudah mulai di dunia islam, karya-karya permulaan mengenai keturunan Ali bin Abi Thalib seperti Husain dan Zaid ibn Ali bila di lihat dari judulnya terutama tidak berkenaan dengan biografi kepahlawanan mereka, tetapi lebih banyal menceritakannya sesuai syuhada (saksi kebenaran dalam islam) yang meninggal di medan perang.sebagai yang layak mempimpin umatnya sehingga secara historis peristiwa-peristiwa yang di hadapinya lebih berarti di dalam kehidupanya.
































BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pemaparan tentang historiografi Islam di masa klasik dapat disimpulkan bahwa awal muncul historiografi Islam tidak lepas dari peran seorang Rasul sampai kepada para khalifah dan pemimpin kerajaan di masa itu. Ini dilihat dari perkembangan biografi, hasil tema dan jalannya pemerintahan tersebut. Masa ini tidak hanya berhenti sampai di sini saja dan akan dilanjutkan dengan masa setelah ini ( pertengahan dan modern). Perkembangan sumber-sumber, biografi dan tema-tema dalam historiografi Islam pada masa klasik dapat kita lihat dari masa jahiliyah hingga ke masa disentegrasi. Mungkin itu saja kesimpulan dari kami.
























DAFTAR PUSTAKA

Asmuni, Yusran,1996. Dirasah Islamiyah II,Jakarta: PT Raja Grapindo Persada
Azami, 1994. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,Jakarta: PT Pustaka Firdaus
Azyumardi, Azra, 2002. Historiografi Islam Kontemporer,Jakarta:Pustaka UtamA
Aden Wijdan SZ.dkk.2007.Pemikiran dan Peradaban Islam.Yogyakarta:Safiria Insania Perss.
Danar Widiyanta.2002.Perkembangan Historiografi Tinjauan di Berbagai Wilayah Dunia.Yogyakarta:Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
H.A Muin Umar.1977.Pengantar Historiografi Islam.Jakarta:Bulan Bintang.
_____________ .1987.Historiografi Islam.Jakarta:Rajawali Pers.
Yatim, Badri, 1997. Historiografi Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu






















[1] Azami, dikutip dalam (Ibnu Saad; al-Tabaqat al-Kubra, 1904-1940: 9), Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994. Hal 75 .
[2] Ibid, 1994: 457-477
[3] Ibid, 1994:79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar