Minggu, 10 April 2016

Studi KeIslaman



MANUSIA DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN
Manusia bukan sekadar makhluk menyusui saja yang hanya makan , minum dan berhubungan seks. Ia memiliki potensi lebih dari itu yang ada dalam dirinya, yang menjadikannya dalam al-Qur’an makhluk unik, berbeda dengan yang lain.  A. Carrel mengemukakan dalam bukunya Man then unknowen mengakhiri pasal pertama uraiannya entang kebutuhan mengenal manusia lebih baik dengan penegasan: “ Jelas sekali bahwa semua yang telah dihasilkan para pakar dalam bidsng studi tentang manusia belum pada cukup/tuntas.  Pengetahuan kita tentang diri kita pada umumnya masih pada tahap awal”.  Kitab suci al-Qur’an dan Hadisr-hadist Nabi Muhammad saw.  Diperoleh informasi serta isyarat-isyarat yang boleh jadi dapat mengungkap sebagian dari misteri makhluk ini. 
 secara tegas dan ganblang al-Qur’an mengemukakan bahwa manusia pertama diciptakan dari unsur tanah dan ruh Ilahi  melalui proses, namun tidak dijelaskan rinciannya.  Reproduksi manusia juga dikemukakan al-Qur’an tahapan-tahapannya tetapi tahapan yang dijelaskan lebih banyak berkaitan dengan unsur tanahnya, bukan yang berkaitan dengan ruh Ilahi.
Isyarat menyangkut isi psikis, rokhaniah manusia dikemukakan dalam uraian al-Qur’an tentang sifat-sifatnya yang positif/negatif, serta pada ayat-ayat yang berbicara tentang fitrah, nafs, ruh dan akal. Yusuf Qordawi(1977:33) pernah mengatakan “Al-Qur’an adalah kitab manusiawi.  Al-Qur’an seluruhnya berbicara tentang manusia”.
Masyarakat Islam dibentuk karena ideologinya yaitu Islam, kata Fazlur Rahman (1980:43).  Ideologi adalah Weltanschaung, yang menjelaskan hakikat realitas dalam perspektif  tertentu.  Ideologi adalah cara memandang realitas.  Diantara realitas penting yang diulas ideology adalah manusia.  “ Toute`ideologie precise d`emblee, tacitemen on explicitement, la nature de` individu et la place quilui est assignee daus lee group, en fontion de l`objectif social pousuiri.  Paur line religion eschatologique come l` Islam, Dieu sera la reference primordial et unique puisqu’ll est, a la ois, I origine et le fin de la destine a hujnaine”, ditulis Marcel A. Boisard(1979:84) ketika mengantarkan tulisannya tentang pandangan Qur’ani mengenai manusia dalam bab Les Fils d’ Adam.
Adanya anggapan  bahwa Al-Qur’an hanya berbicara tentang Tuhan sudah menjadi keheranan para filosofi Muslim.  Menurut Muthahari al-Qur’an secara gamblang menggambarkan citra manusia, yang tidak mungkin diberikan oleh selain-Nya.  Siapa diantara para tokoh filosof yang sampai pada kesimpulan bahwa manusia itu tidak saja eksitensial tetapi ia adalah khalifah, pemakmur bumi .

Walaupun Boisard mengakui pentingnya filsafat antropologis dalam Islam, dengan menjelaskan bahwa al-Qur’an diwahyukan untuk memperkenalkan Tuhan kepada manusia, bukan untuk menjelaskan manusia “ non pour expil quer I’ humain” (Boisard, 1979:84).  Karena itu, dalm seluruh bukunya, Boisard hamper tidak pernah membahas tentang karekterisstik manusia menurut al-Qur’an, seperti lazimnya filsafat manusia (philoshopie de I’homme).
Dirk Bakker (dalam Abuasya, 1999) dalam bukunya Man in the Qur’an, mengulas manusia dari segi penciptaannya, hubungannya dengan dunia, sesama manusia, Tuhan dan fungsi manusia sebagai hamba Tuhan, tetapi tidak membahas principle d’ etre manusia.  Dalam berbagai perspektif(iptek. Politik, biologi,  sosial) yang memberikan kedudukan manusia yang istimewa makhluk ibadah.
Adalah Rahman (1980), ia menjelaskan perbedaan manusia dengan makhluk lain.  Semuanya dapat disimpulkan dalam kalimatnya, “The only difference is that while every other creature follow its  unique pre velege and the unique risk of  man” (Rahman, 1980:24).
Rahman mengulas tentang manusia dengaan melihat pandangan al-Qur’an tentang kesusukan manusia sebagai individu dan anggota masyarakat.  Ia tidak memulai dari konsep-konsep dasar yang digunakan al-Qur’an untuk mengabstrasikan manusia.  Dalam tersebut, juga dalam tulisan lain Rahman (1980) yang membahas amanah sebagai inti kodrat manusia.  Uraian Rahman tidak jauh berbeda dengan pembahasan Al-Ghazali yang lebih klasik(lihat,1960).
Munthar i(1986) membahas karakteristik khas manusia yang lebih ”maju” dari AlGazali; juga tulisan pendek dari AlFaruqi(1404: 332).  Dan sayangnya, seperti Fazlur Rahman, mereka meniliti ayat-ayat  al-Qur’an yang berkenaan dengan manusia,  lalu  menyimpulkan secara induktif.
Al-Qur’an memberi makna pada konsep-konsep dasar tentang manusia.  Dengan perkataan lain, kita mengidentifikasi istilah-istilah al-Qur’an tentang manusia, kemudian mengenal semantik dari setiap istilah itu , sebagaimana digunakan dalam al-Qur’an.  Tidak kurang pentingnya adalah memahami konsep tentang potensi dan struktur kemanusia.  Merujuk kepada hasil Simposium Nasional Psikologi Islam I dan II dapat disusun pra-konsep struktur jiwa manusia yang kembali bangunan “konsep manusia” dikaitkan dengan pandangan Pemikir muslim.

1.   FITRAH

Dari segi bahasa kata fitrah, terambil dari kata Fathir yang berarti belahan, dari makna ini lahir makna-makna baru antara lain, muncul, kejadian dan penciptaan, konon sahabat nabi Ibnu Abbas tidak tahu persis apa arti kata Fathir (dari akar kata yang sama dengan kata fitrah) sampai ia mendengar pertengkaran antara dua orang menyangkut kepemilikan sebuah sumur. Salah seorang berkata ana fathartu. Saat itu Ibnu Abbas memahami bahwa si pengucap mengaku bahwa dia yang menjadikannya/menggalinya pertam memakai, dan sejak itu pula Ibnu Abbas mengetahui bahwa Fathir digunakan untuk makna kejadian/penciptaan sejak semula.
Fitrah manusia adalah “apa yang menjadi kejadiannya/ bawaannya sejak lahir”. Dalam Al-Qur’an kata ini dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak dua puluh delapan kali, empat belas diantaranya dalam konteks uraian tentang bumidan atau langit. Sisanya dalam konteks pembicaraan tentang manusia, baik pengakuannya sebagai makhluk ciptaan Allah, maupun berkaitan dengan uraian tentang fitrah keagamaan yang dimilikinya. Hal terakhir ini dijelaskan dalam Al-Qur’an berikut ini:  
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (yang benar) fitrah Allah yang telah menciptakan manusian atasnya (fitrah itu). Tidak adaperubahan pada fitirah A llah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui “ (QS Ar-Ruum/30: 30).
Dari ayat di atas disimpulan bahwa manusia sejak asal kejadianya telah diciptakan Allah membawa potensi keberagaman yang benar, yang diartikan ulama sebagai tauhid.
Selanjutnya kalau kita memahami kata la pada ayat di atas dalama iti tidak bnkan jangan, maka hal ini berarti bahwa fitrah keagamaan tersebut telah ada sejak awal kejadian manusia dan ia tidak dapat dielakkan olehnya walaupun boleh jadi diabaikan atau tidak diakuinya.
Walaupun kata fitrah hanya ditemukan sekali data al-Quran dan dalam konteks keberagamaan, namun ini bukan berarti bahwa fitrah manusia hanya apa yang disebut itu. Masih ada kata-kata dalam ayat-ayat lain yang maknanya mengacu kepada fitrah, seperti misalnya firman Allah berikut ini: 
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak- anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternakdan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allahlah tempat kenbaliyang baik (surga). (QS. Ali-Imran 14).

2.  NAFS
Kata nafs dalam al-Qur’an mempunyai aneka makna, antara lain diartikan sebagai totalitas manusia seperti antara lain maksud QS. Al-Maidah: 32, dan apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku, seperti firman Allah berikut ini :
...sesunggulmya Allah tidakmerobah keadacin suatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri... ” (QS. Ar-ra’d: 11).

Kata nafs digunakan juga untuk menunjuk kepada “diri Tuhan ” (kalau istilah ini dapat diterima), seperti dalam firman- Nya surat al-An’am: 12 “Allah mewajibkan atas diri-Nya menganugerahkan rahmat
Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia, menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.
Dalam pandangan al-Qur’an nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempuma untuk berfungsi menampung serta mendo- rong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan diberi perhatian lebih besar.
 “Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaanya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketaqwaannya “ (QS. As-Syams: 7-8).
Mengilhamkan dalam ayat di atas, berarti: memberinya potensi agar manusia melalui “nafs” dapat mengungkapkan makna baik dan buruk serta dapat mendorongnva untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
Di sini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata ini menurut Al-Qur’an dengan terminologi kaum sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa: “nafs ” dalam pengertian kaum sufi adalah sesuatu yang melahirkan sat tercela anperilaku buruk".  Pengertian kaum sufi ini sama dengan penjelasan Kamus besar Bahasa Indonesia yang antaralain menjelaskan arti kata nafsu, sebagai "Dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik’’.
Walaupun al-Quran menegaskan bahwa manusia berpotensi positif dan negatif, namun diperoleh pula isyarat bahwa hakekatnya potensi positif manusia lebih kuat dan potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan kebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu, manusia dituntut agar memeliara kesucian nafs dan tidak mengotorinya (QS. As-Syams: 9-10).
Bahwa potensi positif lebih besar dari potensi negatif di- pahami oleh sekian pakar bukan saja dari adanya fitrah keberagamaan seperti dikemukakan di atas, tetapi juga dari beberapa isyarat Al-Qur’an, antara lain:
 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesjuai de- ngan kesangupannya. Ia mendapatpahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari keja- hatan) yang dikerjakannya. (QS. Al-Baqoroh: 286).

Kata “ksabat” yang dalam ayat di atas menunjuk kepada usaha baik, sehingga memperoleh ganjaran adalah patron yang digunakan untuk menunjukkan kepada hal-hal yang sulit dan lebih berat. Ini menurut pakar Al-Qur’an, Muhammad Abduh, mengisyaratkan bahwa manusia pada dasamya diciptakan Allah untuk melakukan kebaikan.
Ayat lain yang sejalan dengan isyarat di atas adalah fuman-Nya: 
Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadcip Tuhanmu YangMaha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyetnpurnakan ke- fadianmudan menjadikan(susunan tubuh) mu seimbang”. (al-Infithar: 6-7)
Kata Fa ’adalak” dipahami oleh sementara pakar semacam Yusuf Ali sebagai kecenderungan berbuat adil. Pendapat ini cukup beralasan, karena dengan pemahaman semacam itu, menjadi amat lurus kecaman Allah terhadap manusia yang men- durhakai-Nya.
Di sisi lain ditemukan pula isyarat bahwa nafs merupakan wadah. Finnan Allah dalam surat Ar-ra’d: 11 yang menyatakan bahwa “Allah tidak merobah nasib suatu kaum sampai mereka merobah apa yang terdapat dalam nafs mereka " mengisyaratkan hal tersebut. Apa yang terdapat dalam nafs dalam konteks ayat ini adalah idea dan kemampuan keras. Ini berarti nafs  menampung kedua hal tersebut, dan perubahan kedua hal ini merupakan mutlak bagi terjadinya perubahan dalam dunia nyata. Ide dan kemauan satu kelompok masyarakat bukan perorangan dapat merubah masyarakat, ide saja atau kemauan saja tidak cukup untuk menciptakan perubahan.
Tetapi bukan hanya ide dan kemauan yang ditampung oleh wadah nafs, didalamnya juga terdapat apa yang kita namai nurani. Inilah yang mengantar manusia menyesali perbuatannya, merasa berdosa atas kesalahan-kesalahannya, walaupun ia sendiri boleh jadi secara lahiriah menutup-nutupi kesalahan itu dengan berbagai dalih. Isyarat tentang adanya nurani dalam nafs manusia dikemukakan Al-Qur ’an antara lain sebagai berikut: 
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri. Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya ”(QS Al- Qiyamah: 14-15).

Kecenderungan nurani lahir dari pendekatan kepada Allah, sedang kegelapan muncul dari kedurhakaan. (Bahkan sehingga menjadi berkarat hati mereka akibat dosa-dosa yang mereka lakukan).
Al-Qur’an menjelaskan adanya tiga macam tingkat nafs, sesuai kecerahan dan kegelapan: Nafsul Muthmainnah (yang tenang), nafsul Lawamah (yang selalu mengecam an menyesali kesalahan) dan nafsul ammarah bissu' (yang selalu mendorong manusia ke arah negatif).
Lebih jauh, al-Qur’an mengisyaratkan bahwa yang terdapat dalam wadah nafs bukan hanya ide/pengetahuan yang disadari manusia serta kehendak nuraninya, tetapi nafs juga menampung pengetahuan yang diterpendam yang tidak disadari manusia serta kehendak nuraninya, tetapi nafs j uga menampung pengetahuan yang terpendam yang tidak lagi disadari oleh pemiliknya, karena berada di bawah sadarnya. Dalam kaitan ini, Allah berfirman:
"Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka se sungguhnya Dia mengetahui mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi(QS. Thaha: 7).

Yang lebih tersembunyi dari rahasia adalah “apa yang terlintas dalam benak/nafs yang oleh yang bersangkutan sendiri tidak lagi diketahuinya”. Demikian dikemukakan oleh para pakar Tafsir abad VI Al-Thabary dalam kitab tafsimya “Majma ’al- Bayan”. Sebelumnya klialifah keempat, Ali Bin Abi thalib, pemah

berkata: “Tidak seorangpun menyembunyikan sesuatu kecuali nampak pada ucapannya atau air mukanya
Apa yang terdapat dalam nafs dapat juga muncul dalam mimpi, yang oleh al-Qur’an pada garis besarya dibagi dalam dua bagian pokok, pertama dinamainya ru ’ya dan kedua dinamainya adhghasu ahlam; yang pertama dipahami dengan | gambaran/simbol dari peristiwa-peristiwa yang telali, sedang dan atau akan dialami dan yang belum/tidak terlintas dalam benak yang memimpikannya, sedang yang kedua lahir ari keresahan | dan atau perhatian manusia terhadap sesuatu, serta hal-hal yang telah berada dibahwa sadarnya.

3. QALB
Kata qalb terambil dari akar kata yang bermakna membalik, karena seringkali laberbolak-balik, sekali senang sekali susah, sekali setuju dan sekali menolak, ia amat berpotensi untuk tidak konsisten. Al-Qur’an pun menggambarkan demikian, ada yang baik, ada pula sebaliknya. Berikut beberapa | contoh:
1.     Sesungguhnya yang demikian terdapat peringatan/ pengajaran bagi yang memiliki qalbu atau mencurahkan pendengaran lagi menjadi saksi (QS.Qaf :37).
2.                  Kami jadikan/campakkan di dalam qalbu orang yang mengikutinya (Isa as) kasih sayang dan rahmat (QS. al- | Hadid: 27)
3.                  Kami akan campakkan kedalam hati mereka rasa takut | (QS. Ali-Imran: 151).
4.                  Dia (Allah) mencitakan keimanan dan menghiasisnyadi qalbu kamu (QS. al-Hujurat: 7).
Dari sini dapat dipahami mengapa yang dituntut untuk di pertanggungjawabkan hanya isi qalbu bukan isi nafs:
“Allah menuntut tangungjawab kamu menyangkut apa yang dilakukan oleh qalbu kamu ” (QS. al-Baqarah: 225). Namun dinyatakan bahwa “Allah lebih mengetahui (dari kamu sendiri) apa yang terdapat dalam nafs/diri kamu ” (QS. al- Isra’: 25).
Di sisi lain seperti dikemukakan di atas, bahwa nafs adalah sisi “dalam” manusia. qalbu pun demikian, hanya saja qalbu berada dalam kotak tei sendiri yang berada dalam kotak besar nafs.
Dalam keadaanya sebagai kotak/wadah, maka tentu saja ia dapat diisi dan atau di ambil isinya, seperti yang digambarkan oleh ayat berikut :
“kami cabut/angkat apa yang terdapat dalam qalbu mereka rasa iri, sehingga mereka semua bersau- dara ” (QS. al-Hijr: 47).
Ayat yang lain menyebutkan “.. belum lagi masuk keimanan ke dalam qalbu mereka” (QS. al- Hujurat: 14), bahkan al-Qur’an menggambarkan ada qalbu yang ditutup/disegel: “Khalama allahu 'ala qulubihim ” (QS. al- Baqarah: 7). Sehingga wajarjikaal-Qur’an menyatakan bahwa ada kunci-kunci penutup qalbu (QS. Muhammad: 7). Wadah qalbu dapat diperbesar atau diperkecil/dipersempit. la diperlebar dengan amal—amal kebajikan serta olah jiwa “Mereka itulah yang diperluas qalbunya untuk menampung taqwa” (QS. al-Hujurat: 3). Ayat yang lain menyebutkan bahwa: “Siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, Dia menjadikan dada (qalbunya) sempit lagi sesat “ (OS. al- An’am: 125).

Perlu ditambahkan bahwa al-Qur’an sesuai dengan kaidah bahasa Arab sering kali menggunakan bagian dari sesuatu untuk menunjuk keseluruhan bagian-bagiannya seperti menggunakan kata sujud dalam arti shalat yang mencakup berdiri, ruku’ dan lain-lain, biasajuga al-Qur’an menyebut sesuatu yang menggam- barkan keseluruhan bagian-bagian tetapi yang dimaksud hanya- lah salah satu dari bagiannya seperti firman-Nya: “mereka me- masukkan jari jari mereka ke dalam telinganya”. al- baqarah: 20), dalam arti "ujungjarijari”. Al-Qur'an terkadang menggunakan kata nafs dalam arti qalbu. Biasanyajuga menye­but tempat sesuatu tetapi yang dimaksud adalah isinya seperti Kata dada dalam ayat di atas adalah tempat qalbu, sebagai- mana ditegaskan:
“Sesungguhnya bukan mata yang buta tetapi qalbu yang berada di dalam dada ” (QS. al-Hajj: 46)
Dalam beberapa ayat, qalb yang merupakan wadah itu dipahami dalam arti “alat” seperti dalam firman-Nya: "Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu kamu tidak mengetahui sesuatu, maka Dia memberikan kamu (alat) hati, agar kamu bersyukur (menggunakan-Nya untuk memperoleh pe- ngetahuan) “ (QS. an-Nahl: 78).
Membersihkan qalb adalah salah saUi cara untuk memper­oleh pengetahuan. Imam Ghazali memberi contoh mengenai qalb sebagai wadah pengetahuan serta cara mengisinya. “kalau kita membayangkan satu kolam yang digali di tanah, maka untuk mengisinya dapat dilakukan dengan mengalirkan air sungai dari atas ke dalam kolam itu; tetapi bisa juga dengan menggali dan

menyisihkan tanah yang memenuhi kolam dan air itu, jauh lebih jernih dari air sungai yang mengalir dari atas”. Kolam adalah qalb, air adalah pengetahuan, sungai adalah panca indera dan eksperimen. Sungai (panca indera) dapat dibendung/ditutup, selama tanali yang berada di kolam (qalb) dibersihkan agar air (pengetahuan) dari mata air memancar ke atas (kolam).
Salah satu makna ayat an-Anfal: 8 ini adalah bahwa Allah menguasai qalb manusia sehingga mereka merasakan kegunda- han, kesulitan dapat bermohon kepada-Nyauntuk menghilangkan kerisauan dan penyakit qalb yang dideritanya. Ayat ini sangat berkaitan dengan firman-Nya dalam QS. Ar-Ra’d: 2 8: ‘ ‘Sesung- guhnya dengan mengingat Allah hati akan tentram

4. Ruh
Berbicara tentang ruh dalam Al-Qur ’ an menj elaskan dalam Surat al-Isra’ ayat 85 berikut ini:
 “Mereka berlanya tentang ruh, katakanlah ruh adalah urusan Tuhanku, kamu tidak diberi ilmu kecuali scdikit” (QS. al-Isra’: 85).
Yang menambah sulitnya persoalan adalah bahwa kata ruh terulang di dalam al-Qur’an sebanyak dua puluh empat kali dengan berbagai konteks dan berbagai makna dan tidak semua berkaitan dengan manusia. Dalam surat al-Qadar, misalnya dibicarakan tentang turunnya malaikat dan ruh pada malam Lailatul qadar. Adapun uraian tentang ruh yang tertera dalam al-Qur’an adalah sebagaimana berikut ini.
Kata ruh yang berkaitan dengan manusia juga dalam konteks yang bermacam-macam, ada yang hanya di anugerah- kan Allah kepada manusia pil ihan-Nya seperti dalam QS. al- Ghafir: 15 yang di pahami oleh sementara pakar sebagai wahy u yang dibawa malaikat jibril, ada juga yang dianugerahkan kepada orang-orang mu'min (QS. al-Mujadilah: 22, dan di sini dipahami sebagai dukungan dan peneguhan hati/kekuatan batin dan ada juga yang dianugerahkan-Nya kepada seluruh manusia: “kemudian kuhembuskan kepadanya dari ruh-Ku ” (QS. Al-Hijr: 29). Apakah mb di sini berarti nyawa? ada yang berpendapat demikian ada juga yang menolak pendapat ini, karena dalam QS. al-Ma'minun: 101 dijelaskan bahwa yang ditiupkanya ruh maka menjadilah makhluk ini 'khalq akhar ’ makhluk yang unik yang berbeda dari makhluk ini,... sedang nyawa juga dimiliki oleh oi ang utan misalnya, kalau demikian nyawa bukan unsur arg menjadikan manusia makhluk yang unik.
Demikianlah terlihat al-Qur "an berbicara tentang ruh dalam maknayang beraneka ragam, sehingga sungguh sulit untuk menetapkan maknanya apalagi berbicara tentang substansinya.
5. ‘Aql (akal)
Kata ‘aql (akal) tidak ditemukan dalam al-Qur’an, yang ada hanya bentuk kata keija masa kini dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali pengikat, penghalang. Al-Qur 'an menggunakannya bagi sesuatu yang mengikat/menghalangi seseorJng terjerumus dalam kesalahan/dosa. Apakah sesuatu itu? al-Qur’an tidak menjelaskan secara eksplisit namun dari konteks ayat-ayat yang menggunakan akar kata ‘aql dapat dipahami bahwa ia antara lain adalah:
Pertama, daya untuk memahami dan mdngambarkan sesuatu. Seperti firman-Nya: “Demikian itulahperumpamaan- perumpamaan kami kepada manusia tetapi tidak ada yang memahaminnya kecuali orang-orang alim (berpenge- tahuan) ” (QS. al-Ankabut: 43).
Daya manusia dalam hal ini berbeda-beda Ini di isyaratkan dalam al-Qur’an antara lain pada ayat-ayat yang berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih berganti malam dan siang dan lain-lain. Ada yang dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah SWT bagi “orang-orang yang berakal" (QS. Al- Baqarah: 164) dan ada juga li ulil albab yang juga dengan makna yang sama, tetapi mengandung pengeitian lebih tajam dari sekedar memiliki pengetahuan/daya paham.
Keaneka ragaman akal dalam konteks menarik makna dan menyimpulkannya terlihat juga dari penggunaan istilah-istilah
semacam (nazar, tafakkur, iadabbur) dan sebagainya yang kesemuaanya mengandung makna atau mengantar kepada pemahaman dan kemampuan mengerti.
Kedua, dorongan moral, seperti dalam firman-Nya :
Dan janganlah dekati perbuatan-perbuatan keji yang nampak atau tersembunyi jangan juga membunuh jiwa yang diha- ramkan Allah kecuali dengan sebab yang benar, demikian itu di wasiatkan Tuhan kepadamu, semoga kamu memiliki dorongan moral meninggalkannya ” (QS. Al-An' am: 151).

Ketiga, daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta “hikmah”. Untuk maksud ini biasanya digunakan kata “rusyd”. Daya ini menggabungkan kedua daya di atas, sehingga ia mengandung daya memahami, daya menganalisa dan menyim- pulkan serta dorongan moral yang disertai dengan kematangan dalam ber”fikir”. Seseorang yang memiliki daya nalar yang kuat bolehjadi tidak memiliki dorongan moral yang kuat.
Boleh jadi juga seorang yang memiliki dorongan moral, tidak memiliki daya nalar yang kuat, tetapi seorang yang memiliki “rusyd” maka dia telah menggabungkan keistimewaan keduanya.
Akal digunakan al-Qur’an untuk ketiga makna itu, sehingga kita dapati bahwa daya pikir semata atau daya rasa pun, belum lagi mencerminkan maknasebenamya dari akal, tetapi ia adalah dorongan moral untuk melakukan kebaikan dan menghindar dari kesalahan, karena adanya untuk berpikir, memahami persoalan. Dari sini dapat dimengerti mengapa penghuni neraka di hari kemudian berkata: "Sebenamya karrii mendengar dan berakal-.maka pasti kami tidak masuk penghuni neraka" (QS.Al-Mulk: 10)



makalah histografi Islam




MAKALAH HISTORIOGRAFI ISLAM


MASA HISTORIOGRAFI ISLAM
PADA MASA KLASIK (650-1250 M)
 



                                                                                                                                




KELOMPOK: V
ABDUL SALAM (13210004)
AHMAD FITRA (13210013)
AL-RASYID (13210016)
ANICA (13210035)
DOSEN PEMBIMBING: YUDI , M.Hum

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2014

KATA PENGANTAR

            Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Segala puji bagi Allah SWT. Karena berkat serta inayah dari-Nya kami kelompok 5 dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Historiografi Islam yang berjudul “Masa Historiografi Islam pada Masa Klasik” tepat pada waktunya. 
            Adapun tujuan kami dalam pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Historiografi Islam, Selain itu juga kami dapat mempelajari serta memahami masalah-masalah perkembangan Historiografi Islam pada Masa Klasik.
            Tugas ini kami buat berdasarkan dari beberapa sumber buku yang tentunya kami pelajari terlebih dahulu sebelum kami menyusun dan membentuknya menjadi pokok bahasan dari kelompok kami. Semoga setelah terselesainya makalah ini dapat memberi wawasan pengetahuan bagi semua mahasiswa Pendidikan Agama Islam khususnya pada kelas Pendidikan Agama Islam 01 tahun ajaran 2013-2014.
            Adapun kalau ada kesalahan dalam penyusunan makalah kami mohon Bapak sebagai Dosen Pengasuh dalam mata kuliah Historiografi Islam memaklumi dan meluruskan apabila terdapat kesalahan baik itu dalam penulisan makalah maupun pokok bahasan yang dikupas dalam bahasan ini agar kami dapat memahami dengan benar sesuai dengan sejarah, fakta dan kejadiannya. Agar nantinya kami tidak mendapat kekeliruan.
Sekian pengantar dari kami kelompok 5, kami hanturkan banyak terimakasih. Wassalamu’alaikum warrahmtullahi wabarakatuh.



                                                                                                            Palembang, 18 Maret 2014






DAFTAR ISI

Kata Pengantar1
Daftar Isi2
Bab I PENDAHULUAN3
A.Latar Belakang3
B.Rumusan Masalah3
Bab II PEMBAHASAN4
A.Sejarah Historiografi Islam di Masa Klasik 4
B.Sumber Penulisan Sejarah di Masa Klasik6
C.Tema-tema Historiografi di Masa Klasik9
Bab III PENUTUP14
Kesimpulan................................................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA15







BAB I
PENDAHULUAN


A.        Latar Belakang
Pada awal sebelum masuknya Islam ke belahan dunia, banyak juga peninggalan sejarah orang terdahulu yang belum pernah diketahui oleh manusia.  Karenanya sejak Islam masuk maka banyak temuan-temuan yang dapat diketahui oleh manusia melalui peninggalan sejarah baik itu melalui lisan maupun tulisan.  Tahap melalui lisan biasanya disampaikan dari manusia ke manusia yang lain berupa berita yang didapat dari sumber sejarah yang dapat dipercaya. Sedangkan melalui tulisan yaitu diketahui melalui jalannya historiografi Islam dalam berbagai masa termasuk masa klasik.
Penulisan sejarah (historigrafi) membutuhkan sumber yang bergama, dan pengetahuan yang bermacam-macam. ia juga dibuthkan perhitungan yang tepat, dan ketekunan. Kedua sifat ini membawa sejarawan pada kebenaran, dan menyelamatkan mereka dari ketergelinciran dan kesalahan,kali ini pemakalh akan mebahas tentang historiografi pada masa penulisan awal diman terdiri dari bebarapa pembahasan yang di antaranya tentang dinasti, biografi dan al ansab.

B.        Rumusan Masalah
a.       Bagaimana perkembangan historiografi pada masa klasik?
b.      Dari manakah sumber yang didapat dalam historiografi Islam pada masa klasik?
c.       Apa saja tema-tema dalam historiografi Islam?











BAB II
PEMBAHASAN

A.                 Sejarah Historiografi Islam di Masa Klasik (650-1250 M)
Penulisan sejarah Islam pertama kali masih bersifat Arab murni, tidak ada peran Persia atau Yunani, dan penulis sejarahnya pada generasi pertama adalah orang-orang Arab. Akan tetapi, dalam perkembangannya kemudian mendapat pengaruh dari Ahli Kitab dan Persia. Generasi pertama penulis sejarah, dalam menulis mencantumkan isnad (rangkaian pemberi khabar). Biografi ini dengan cepat berkembang. Al-Zuhri adalah orang pertama yang mengembangkannya. Dia berusaha mengaitkan satu hadits dengan yang lain (Badri:1997, 45).
Menurut Husein Nashshar menyimpulkan bahwa penulisan sejarah Arab Islam tumbuh dari dua arus yang berbeda :
a.       Arus lama, yang terdiri atas cerita-cerita khayal dan folklore, yang dipengaruhi oleh corak sejarah Arab klasik yang disampaikan oleh narator-narator yang berpindah dari Arab Utara, dalam bentuk al-ansab dan al-ayyam dan cerita-cerita tentang raja-raja Arab Selatan, serta riwayat penaklukan mereka. Biasanya, arus lama ini mengambil bentuk syair. Kisah-kisah ini tidak didasarkan atas penanggalan (kronologis) kejadian, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya tidak ada hubungannya.
b.      Arus baru yang dimunculkan Islam, yaitu arus biografi, yang terdiri atas berita-berita autentik dan mendalam, cabang dari ilmu hadits, oleh karena itu melalui kritik dan seleksi, terdiri dari kisah-kisah yang benar dan terkadang juga ada khayal yang terdapat dalam diri rasul. Sejarawan mengumpulkan kisah-kisah itu, menyusunnya, menghubung-hubungkan antara satu dengan yang lain, dengan disinari oleh ayat-ayat al-Quran.

B.        Sumber Penulisan Sejarah di Masa Klasik

Masa Jahiliyah
Pada masa ini bangsa Arab sudah mengetahui peranan tulis menulis. Mereka menganggap bahwa tulis menulis adalah salah satu unsur kesempurnaan seseorang.  Ibnu Saad mengatakan, “Bangsa Arab Jahiliyah dan Permulaan Islam menilai bahwa orang yang sempurna adalah yang dapat menulis, berenang, dan melempar panah”.[1]  Bahkan Ibnu Habib al-Baghdadi sempat menulis nama-nama bangsawan juga melakukan hal itu pada masa jahiliyah dan permulaan Islam.[2]
Jadi pada masa jahiliyah bangsa Arab sudah mengetahui peranan tulis menulis.  Hanya saja mereka tidak dapat menggunakannya sebagaimana mestinya.  Hal ini karena kehidupan mereka sehari-hari memang belum memerlukan hal itu.  Namun begitu banyak sumber menyebutkan bahwa masa sebelum datangnya agama Islam di jazirah Arab sudah terdapat “kegiatan pendidikan dan penulisan”.  Sumber yang didapat itu dari pendidikan mengajar di mana kegiatan tersebut dilakukan diberbagai tempat seperti di Makkah, Tarif, Anbar, Hijrah, dan Dumat al-Jandal, telah diadakan majelis-majelis pendidikan untuk diajarkannya berbagai pengetahuan dan penulisan.  Mencatat syair termasuk kegiatan pembelajaran yang dilakukan dalam kegiatan tersebut.  Bahkan Mashdir  al-Syi’r  al-Jahili (165) mengemukakan  tidak sekedar mencatat syair, tetapi masalah-masalah yang berkaitan dengan cerita perang, kehidupan sehari-hari, kata-kata mutiara para pujangga, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kabilah itu selalu ditulisnya.  Mereka juga mencatat masalah hutang piutang dalam buku-buku lembaran pada waktu mereka masuk Islam.  Mereka juga mencatat perjanjian-perjanjian, dokumen-dokumen dan sumpah-sumpah, di samping buku agama, kata-kata mutiara, silsilah dan keturunannya .

Masa Permulaan Islam di Makkah
Tatkala Allah bermaksud menyempurnakan nikmatnya di alam raya ini, Ia mengutus Muhammad SAW sebagai Rasul. Begitu pula orang-orang yang pertama kali mendapat perintah Allah SWT.  Tetapi risalah Islam tidak mungkin membiarkan keadaan seperti itu, sebab Islam menghendaki agar umatnya melepaskan diri dari kebodohan karena ketidaktahuan terhadap tulis menulis termasuk hal yang menghalangi masalah itu, maka perintah Allah yang pertama kali diturunkan adalah perintah membaca sesuai dengan surah al-‘Alaq, 1-5.
Ayat-ayat pertama yang dibebankan kepada Rasulullah SAW ini mengisyaratkan apa yang akan terjadi tentang ilmu pengetahuan dalam Islam. Ketika Islam pun dapat beberapa orang yang dapat menulis seperti disebutka oleh Baladzuri yaitu; Abu Bakar al-Siddiq, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash, Sufyan bin Harb, dan  lain-lain.  Selain itu juga ada sejumlah wanita yang termasuk mengetahui tulis menulis, seperti Ummul Mu’minin Hafsah, Ummu Kaltsum binti ‘Uqbah, al-Syifah binti ‘Abdullah al-Quraisyiah, ‘Aisyah binti Saad, dan Karimah binti al-Miqdad.  Sedang Ummu mu’minin ‘Aisyah dan Ummu Salamah hanya dapat membaca, dan secara umum tidak dapat menulis.[3]

Masa Permulaan Islam di Madinah
Setelah kaum Muslimin hijrah ke Madinah, dakwah islam menemukan titik-titik cerahdi mana orang-orang Ansar memeluk Islam.  Keadaan pendidikan juga mengalami perubahan sebab orang-orang Ansar yang hidup sebagai bangsa yang diam dalam kebodohan.
Pada waktu Nabi masih tinggal di Makkah, orang Ansar seperti Rafi’ bin Malik juga pernah menghadap Nabi untuk belajar al-Qur’an, dan sesudah kembali ke Madinah ia mengajarkannya di sana.  Bahkan tidak cuma itu, mereka meminta agar Nabi mengirimkan guru-guru untuk mengajarkan agama dan al-Qur’an kepada mereka.  Nabi pun mengirimkan Mush’ab bin ‘Umair.
Begitulah, Nabi sangat menaruh perhatian terhadap masalah pendidikan sejak beliau masih diperangi musuh di Makkah.  Dan sesudah hijrah Nabi lebih leluasa mengembangkan ilmu.  Dan sejak itu pula beliau mengariskan kebijaksanaan-kebijaksanaandalam pendidikan yang tidak ada bandingnya sampai sekarang.

Masa Bani Umaiyah
Berdasarkan pendapat I. Goldziher dalam bukunya ‘Mohammedanische Studien’, Prof. Nicholson berpendapat bahwa hal-hal yang berkaitan dengan tulisan-tulisan prosa masa Umaiyah perlu mendapat catatan penting, sebab karya-karya mereka umumya sudah punah.  Dalam bidang sastra, semangat non agama (atheis) dan non Islam telah mempengaruhi tulisan-tulisan mereka.  Semangat yang sama juga mempengaruhi penyair yang hidup di wilayah Daulah bani Umaiyah.
Dua penulis dari masa ini yaitu Ubaid bin Syariyyah dan Wahb bin Munabbih yang memperoleh dorongan penguasa di Damaskus untuk mempelajari sejarah.  Sedangkan Musa bin ‘Uqbah (w. 141 H) dan Ibnu Ishaq di mana keduanya adalah penulis kisah-kisah perang Nabi (al-Maghazi), kemudian yang mengumpulkan hadis-hadis Nabi adalah al-Zuhri dan yang menulis kitab tentang zuhud yaitu Asad bin Musa (w. 132 H/749 M).

C.     Tema-Tema Historiografi Islam di Masa Klasik
Bentuk dasar berposisi sebagai karakter awal penulisan sejarah dalam tradisi Islam. Bentuk-bentuk ini merupakan kerangka penulisan sejarah yang berisi kisah-kisah, syair-syair dan bait puisi. Pendapat umum para peneliti historiografi tentang beberapa genre awal penulisan sejarah di kalangan Islam dan Arab, adalah meliputi khabar, annalistik (kronologis), catatan dinasti, thabaqat dan nasab.

Khabar
Khabar biasa diartikan sebagai ‘laporan’, ‘kejadian’ atau ‘cerita’. Biasanya lebih banyak berisi tentang cerita-cerita peperangan dan kepahlawanan. Karakteristik  khabar ditekankan dengan garis sanad yang mendahului tiap-tiap khabar, dan hal itu akan dihilangkan bila menginginkan keringkasan khabar itu atau sekedar menyingkirkan munculnya kecermatan pengetahuan.
Dalam khazanah historiografi, dapat disimpulkan tiga ciri khabar. Pertama, dalam khabar tidak terdapat hubungan sebab akibat antara dua atau lebih peristiwa. Tiap-tiap khabar sudah melengkapi dirinya sendiri dan tidak membutuhkan referensi pendukung.
Kedua, sesuai dengan ciri khasnya yang berakar jauh sebelum Islam, cerita-cerita perang dalam bentuk khabar tetap mempergunakan cerita pendek, memilih situasi dan peristiwa yang disenangi dan kadang menyalahi kejadian yang sebenarnya. Peristiwa selalu disajikan dalam bentuk dialog antar pelaku sehingga memudahkan ahli sejarah dalam melakukan pembacaan dan analisa.
Ketiga, bentuk khabar cukup bervariasi, sebagai cerita pertempuran yang terus-menerus dan sebagai suatu ekspresi yang artistik, khabar juga disajikan dalam bentuk puisi serta syair-syair. Banyak sedikitnya syair tergantung kemauan dan ekspresi psikologis penulis.
Terdapat pertanyaan yang agak mengganjal tentang kapan karya pertama berbentuk khabar ada dalam penulisan sejarah yang dilakukan oleh orang Islam. Literatur Islam permulaan tidak menyediakan jawaban, sementara sumber-sumber bibliografi dan kutipan penulis kontemporer juga tidak membantu. Dengan demikian terjadi jurang pemisah antara literatur Arab yang asli dengan organisasi penerbit buku-buku Islam.
Bentuk khabar di dalam berbagai ragamnya terdapat pula dalam sejarah Muslim, walaupun mereka membatasi kepada catatan peristiwa-peristiwa saja atau menulis nama-nama tanpa ada penjelasan lanjut. Sebagaimana bentuk-bentuk dasar lainnya, jarang sekali muncul apa yang disebut bentuk murni. Biasanya selalu dikombinasikan dengan unsur-unsur lain dalam penulisan sejarah. Sehingga, sebagai misal, dalam menyajikan biografi Nabi Muhammad sudah dilengkapi dengan nasab (silsilah) dan informasi lain seperti daftar nama sahabat yang berjasa dan dikenang dalam perjuangannya.
Ilmuwan sejarah yang menulis dalam bentuk khabar ini diantaranya adalah: Abu Mihnaf Luth Ibn Yahya (w. 774 M) dan al-Haitsam Ibn ‘Adi (w. 821 M) yang karyanya berupa kumpulan monograf dalam bentuk khabar dan nasab. Juga terdapat nama ‘Ali Ibn Muhammad al-Madaini (w. 831 M) yang salah satu karyanya berjudul Al-Murdifat min Quraisy (Wanita Quraisy yang Poliandri).
Selanjutnya, pada tahun-tahun kehidupan penulis itu pula historiografi dalam bentuk khabar sebagai bentuk yang berdiri sendiri dalam sejarah mulai berakhir, bentuk selanjutnya mengarah pada kronologi.

Analitik
Analitik berasal dari kata dasar anno (tahun). Historiografi dalam bentuk analitik merupakan bentuk khusus penulisan sejarah dengan menggunakan kronologis, yaitu pencantuman kejadian tiap tahun. Biasanya dimulai dengan kalimat “dalam tahun pertama” atau “ketika masuk tahun kesembilan”. Penyajian dalam bentuk ini sepenuhnya berkembang pada masa al-Thabari (wafat 310 H). Karya sejarah permulaan terbit pada dasawarsa pertama abad ke-10 M dan diteruskan sampai tahun 915 M.
Al-Thabari bernama lengkap Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid al-Thabari al-‘Amuli, adalah seorang penulis sejarah yang terkemuka. Namun pada masanya beliau lebih dikenal sebagai ahli fiqih, bahkan Ibn Nadhim menyejajarkannya dengan imam Malik dan Syafi’i. Dalam perjalanan hidupnya, banyak kitab yang telah dikarang, seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Adab al-Manasik, Adab al-Nufus dan Tahdzib Atsar. Yang masih diperdebatkan adalah tentang afiliasi politik al-Thabari terhadap Syi’ah Rafidhah.
Namun, sebelum al-Thabari juga telah berkembang penulisan dalam bentuk analitik, misalnya: (1) Sejarah Khalifah Ibn Hayyat yang ditulis sampai tahun 847 M sebagai bentuk analitik yang memulai uraiannya mengenai arti tarikh dan uraian singkat mengenai sirah nabawiyah, (2) Kitab sejarah dari Ya’qub ibn Sufyan (wafat 891 M) yang ditulis berdasar urutan tahun dengan beberapa kutipan. (3) Sejarah dari Ibn Abi Haitsamah (wafat 893 M).
Mu’in Umar menjelaskan, secara teori penulis-penulis muslim lebih dahulu berkenalan dengan penggunaan data sejarah dan sejak diperkenalkan tahun Hijriyah, mereka sampai pada kesimpulan bahwa bentuk analitik merupakan cara yang sangat menyenangkan dalam penyajian sejarah. Karena kepraktisan dan muatan isi penulisan yang lebih padat. Mungkin itu yang dijadikan alasan.
Contoh bentuk analitik ini, di antaranya ditunjukkan oleh Ibn Hajar yang berjudul al-Durar al-Kaminah fi A’yan al-Miati al-Saminah yang menyajikan biografi tokoh-tokoh terkemuka, termasuk guru-gurunya yang disusun menurut hijaiyah yang terdiri dari dua bagian, pertama disajikan menurut riwayah dan kedua dengan cara dirayah, sesuai tahun mereka meninggal.
Penulisan bentuk analitik, awalnya menggunakan klasifikasi tahun, sementara penyebutan bulan sangat sedikit. Terjadi pengecilan scope(lapangan) lintasan waktu, pada abad 14 dan 15 pasca Kristus, pengecilan itu mencapai hitungan bulan dan hari. Sedangkan kristalisasi historiografi seratustahunan (seabad) berlaku sampai akhir abad ke-13 masehi. Untuk pertama kali, perkataan “qarn” (abad) muncul dalam judul yang berhubungan dengan abad itu, misalnya karya Ibn al-Fuwaithi dan Lisanuddin ibn al-Khatib.

Catatan Dinasti
Tidak ada penulisan sejarah di masa lalu yang dapat lepas dari intervensi penguasa. Hampir seluruh catatan sejarah adalah cerita tentang kekuasaan, kemenangan perang dan kepahlawanan sang pendiri dinasti serta anak cucunya. Bahkan banyak terdapat biografi-biografi khusus yang menulis tentang raja-raja itu. Misalnya karya al-Qudla’i yang berjudul ‘Uyun al-Ma’arif. Maka tidak heran jika muncul adagium bahwa sesungguhnya sejarah adalah milik penguasa. Rakyat kecil maupun bawahan hanya menjadi footnote (catatan kaki) yang kadang malah tidak tertulis sama sekali. Namun, bagaimanapun, biografi dinasti dan penguasanya merupakan sebuah bentuk dasar historiografi Islam.
Perkataan “daulah” yang berarti peredaran dan pergiliran sebetulnya menjadi dasar kultural linguistik bagi penulisan model historiografi dinasti ini. Teori penggantian penguasa seperti pada masa al-Kindi, mengisyaratkan hal itu. Selain juga terdapat pengaruh yang besar dari budaya intelektual Persia dan Syiah.
Model penulisannya adalah menurut pergantian kekuasaan khalifah secara berurutan. Misalnya seperti Sinan ibn Tsabit yang terlebih dahulu menguraikan khalifah al-Mu’tadlid yang semasa dengannya baru kemudian menguraikan khalifah sebelumnya. Contoh biografi raja yang komprehensif adalah karya al-Haitsan ibn ‘Adi dan al-Madaini yang berjudul Biografi Mu’awiyah dan Bani Umayyah pada pertengahan abad kedua hijriyah (767 M).
Susunan dinasti dalam sejarah Islam sama halnya dengan penyajian sejarah pra Islam yang ditulis oleh penulis-penulis muslim dalam bentuk bangsa-bangsa dan dinasti-dinasti. Uraian mengenai sejarah pra Islam pada umumnya mendapat kesulitan, karena orang Islam tidak pernah menemukan sistem penentuan waktu untuk periode pra Islam, seperti waktu Sebelum Masehi (SM) yang biasa dipergunakan oleh penulis-penulis Barat.
Untuk penulisan sejarah dinasti pra Islam, penulis Arab mendapat kontribusi berarti dari khazanah Yunani, Byzantium dan Persia. Terdapat juga sedikit tambahan dari India dan Cina, namun penerjemahan itu kurang begitu lancar sebab jiwa nasionalisme yang kuat dari sejarawan kala itu macam al-Dinawari dan Miskawayh.

Thabaqat
Thabaqat berarti lapisan. Transisi masyarakat dari satu lapisan atau kelas dalam penggantian kronologis generasi mudah dilakukan. Sebagaimana qarn yang mendahului arti thabaqat, yang dalam penggunaannya berarti generasi. Ahli-ahli leksikografi mencoba menetapkan ukuran panjang yang pasti dari thabaqat. Sebagian mereka menentukan suatu lapisan generasi itu 20 tahun sedang lainnya 40 tahun. Ada juga yang berpendapat thabaqat itu 10 tahun.
Menurut penulis, thabaqat lebih mirip klasifikasi penulisan sejarah berdasarkan pada “batasan waktu” hidupnya. Dalam sepuluh tahun pertama, misalnya, terdapat tokoh-tokoh dengan kesamaan orientasi dan budaya intelektual. Maka jadilah klasifikasi sedemikian rupa yang selanjutnya ini menjadi metode tersendiri.
Dalam tradisi Islam sendiri, thabaqat merupakan sesuatu yang amat lazim. Terutama jika merujuk pada sejarah Muhammad; dalam lingkaran dan lintasan waktu perkembangan agama Islam, terdapat lapisan shahabat, tab’in, tabi’ al-tabi’in dan seterusnya. Hal ini berhubungan dengan kritik isnad dalam ‘ulum al-hadits.
Pada mulanya, sebagai contoh dalam karya ibn Sa’ad, penyusunan thabaqat dipergunakan sebagai biografi para penguasa yang penting dalam pemindahan hadits. Dalam sejarah lokal, semacam karya Washal Sejarah Wasith di dalamnya hanya dibatasi para perawi hadits. Kemudian dapat dipergunakan untuk kelas-kelas kelompok pribadi terutama yang tergolong ulama. Selanjutnya juga digunakan untuk klasifikasi kejadian-kejadian sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Dzahabi yang berjudul Tarikh al-Islam wa Thabaqati Masyahir al-‘Alam.
Yang penting dalam karya thabaqat ini ialah untuk memperoleh suatu gambaran yang nyata tentang apa yang sebenarnya harus dicari dan diteliti. Dalam karya Abu Ishaq yang berjudul Thabaqat al-Fuqaha’ seseorang menginginkan sebanyak mungkin informasi, sehingga memungkinkan mereka untuk mendapatkan biografi tokoh dalam suatu wilayah dan lokasi.
Cara alfabetis penyusunan biografi ini banyak memberikan kemudahan bagi generasi selanjutnya. Dalam kitab al-Dibaj yang disusun oleh Ibn Farhun (abad 14 M), ulama-ulama Malikiyah diuraikan sesuai nama mereka, dan ini dibagi lagi ke dalam thabaqat kemudian thabaqat disusun menurut geografis.

Nasab
Nasab adalah catatan silsilah keluarga. Bagi orang Arab, menjaga jalur keturunan, terutama bagi yang mempunyai nenek moyang tokoh terhormat menyebabkan mereka harus menuliskannya. Keuntungan posisi dan status sosial ekonomi kadang membuat orang menyalahgunakan nasab ini. Nasab, kemudian menjadi bentuk dasar bagi historiografi Islam.
Selama abad kedelapan dan sembilan masehi, para ahli filsafat sejarah kuno, pada saat yang bersamaan juga merupakan ahli dalam bidang garis keturunan. Karya-karya mereka merupakan bentuk khabar yang berisi kumpulan berbagai kelompok kabilah (suku). Salah satu monograf yang berkenaan dengan garis keturunan yang mula-mula sekali adalah Kitab Hadzfu min Nasab Quraisy mengenai keluarga kecil suku Quraisy tanpa nabi Muhammad yang disusun oleh Mu’arrij ibn ‘Amr al-Sadusi. Selain itu terdapat nama al-Zubair ibn Abu Bakkar (w. 870 M) yang menulis kitab berjudul Nasab Quraisy, walaupun kitab ini lebih banyak membahas budi pekerti orang Quraisy daripada pohon keluarganya. Sebuah kitab dari al-Baladzuri berupa biografi tokoh berjudul Kitab al-Ansab didominasi biografi khalifah. Bentuknya adalah khabar dan historiografi dinasti.
Bentuk penulisan nasab ini ada dua. Penulis bermadzhab Syi’ah, Tajuddin ibn Muhammad dalam pengantarnya untuk kitab Ghayat al-Ikhtishar fi Akhbari al-Buyutati al-‘Alawiyah, memasukkan dua macam penyajian untuk informasi garis keturunan, yaitu bentuk pohon dan bentuk mabsuth.
Sebenarnya, orang-orang Arab sejak masa lalu telah terbiasa membuat jalur keturunannya sendiri, dan ini merupakan cabang ilmu pengetahuan yang khusus dan seringkali dihubungkan dengan syair. Kebanggaan keluarga, sangat tergantung pada apa yang telah dilakukan nenek moyangnya dalam peristiwa ayyam al-A’rab (perang antara kabilah Arab) maupun peristiwa lain dan itu disusun dalam bentuk syair . Seorang sejarawan muslim India, Nizar Ahmed Faruqi dalam disertasinya berjudul Early Muslim Historiography (1979) menyatakan bahwa nasab merupakan satu-satunya sumber bagi penyusunan historiografi Islam, dengan mengambil dasar dari al-Quran surat al-Hujurât [49] ayat 13.

Biografi
Biografi merupakan bentuk yang bertahan lama di dalam ekspresi sejarah hal ini dapat di simpulkan dari kejadian-kejadian yang lalu, yang dapat dia ambil dari naskah-naskah  kerajaan atau kesultanan yang berisi mengenai tingkah laku pribadi mereka pada zamannya.
Biografi sudah merupakan suatu bagian di dalam historiografi islam  semenjak permulanya, bahkan menempati posisi yang dominan. Di dalam masyarakat islam ada beberapa factor yang menyebabkan diantaranya:
a)     Biografi nabi Muhammad SAW merupakan sumber utama bagi pembangunan masyarakat islam
b)     Meriwayatkan kehidupan Nabi Muhamaad  SAW secara terinci tergantung pada perawi secara individual, dan apakah riwayatnya itu dapat di terima  atau di tolak tergantung pada data kehidupan perawi tersebut.
c)      Perjuangan dalam menegakan islam  sebagian besar ditunjukan , oleh keunggulan-keunggulan pribadi pemimpinya, yang telah sangat berjasa di dalam perjuanganya.
Dalam hal ini sirah merupakan fase yang sangat penting dalam pertumbuhan dan pekembangan historiografi Islam. akan tetapi, asma’al-rijal yang secara umum membahas tentang biografi para sahabat, tabiun dan tabi al tabi’in. secara harfiah Asma al- Rijal merupakan nama-nama para tokoh.
prosedur yang normal penulis-penulis biografi memulai dari kelhiran dari subjek yang di tulisnya dan di akihiri dengan kewafatanya ,ini hal yang sudah biasa dalam historiografi islam, dalam hal ini terlihat dalam kitab Tarikh Baghdad yang di susun oleh Khatib al-Baghdadi dimana tanggal kelahiran dan kematian di sebutkan masing-masingnya di dalam permulaan penulisan biografi sebagai karya yang berdiri sendiri biografi di terbitkan dalam jumlah yang banyak, dimulai dari biografi nabi Muhammad SAW, ketika kegiatan penerbitan sudah mulai di dunia islam, karya-karya permulaan mengenai keturunan Ali bin Abi Thalib seperti Husain dan Zaid ibn Ali bila di lihat dari judulnya terutama tidak berkenaan dengan biografi kepahlawanan mereka, tetapi lebih banyal menceritakannya sesuai syuhada (saksi kebenaran dalam islam) yang meninggal di medan perang.sebagai yang layak mempimpin umatnya sehingga secara historis peristiwa-peristiwa yang di hadapinya lebih berarti di dalam kehidupanya.
































BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pemaparan tentang historiografi Islam di masa klasik dapat disimpulkan bahwa awal muncul historiografi Islam tidak lepas dari peran seorang Rasul sampai kepada para khalifah dan pemimpin kerajaan di masa itu. Ini dilihat dari perkembangan biografi, hasil tema dan jalannya pemerintahan tersebut. Masa ini tidak hanya berhenti sampai di sini saja dan akan dilanjutkan dengan masa setelah ini ( pertengahan dan modern). Perkembangan sumber-sumber, biografi dan tema-tema dalam historiografi Islam pada masa klasik dapat kita lihat dari masa jahiliyah hingga ke masa disentegrasi. Mungkin itu saja kesimpulan dari kami.
























DAFTAR PUSTAKA

Asmuni, Yusran,1996. Dirasah Islamiyah II,Jakarta: PT Raja Grapindo Persada
Azami, 1994. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,Jakarta: PT Pustaka Firdaus
Azyumardi, Azra, 2002. Historiografi Islam Kontemporer,Jakarta:Pustaka UtamA
Aden Wijdan SZ.dkk.2007.Pemikiran dan Peradaban Islam.Yogyakarta:Safiria Insania Perss.
Danar Widiyanta.2002.Perkembangan Historiografi Tinjauan di Berbagai Wilayah Dunia.Yogyakarta:Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
H.A Muin Umar.1977.Pengantar Historiografi Islam.Jakarta:Bulan Bintang.
_____________ .1987.Historiografi Islam.Jakarta:Rajawali Pers.
Yatim, Badri, 1997. Historiografi Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu






















[1] Azami, dikutip dalam (Ibnu Saad; al-Tabaqat al-Kubra, 1904-1940: 9), Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994. Hal 75 .
[2] Ibid, 1994: 457-477
[3] Ibid, 1994:79