MODERNISASI
DAN PEMBAHARUAN DI MESIR
(IDE DAN
GERAKAN MURID MUHAMMAD ABDUH : QASIM AMIN, ALI MUBARAK, THAHA HUSAIN, DAN SA’AD
ZAGLUL)
Tugas ini dibuat untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pemikiran Modern dalam Islam
Oleh
Kelompok III
Anica :
1321 0035
Dosen Pengampu: Dr. Muh.
Misdar, M. Ag.
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
1437 H/ 2016 M
![]() |
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Segala puji bagi Allah SWT. Karena berkat serta inayah dari-Nya kami kelompok 3
dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Pemikiran
Modern dalam Islam yang berjudul “Modernisasi Dan Pembaharuan Di Mesir (Ide Dan
Gerakan Murid Muhammad Abduh : Qasim Amin, Ali Mubarak, Thaha Husain, Dan Sa’ad
Zaglul)” tepat pada waktunya.
Adapun
tujuan kami dalam pembuatan makalah ini agar
nantinya kami para calon pendidik mampu
dan mengerti akan tugas kami sebagai seorang pendidik yang baik dalam
menyampaikan materi-materi ataupun bahan-bahan yang akan di transformasikan
kepada siswa dengan memperhatikan dan memahami pemikiran
para tokoh modern dalam dunia Islam yang akan memberikan referensi atau
rujukan arah baru pendidikan dalam dunia
Islam dewasa ini.
Tugas
ini kami buat berdasarkan dari beberapa sumber buku yang tentunya kami pelajari
terlebih dahulu sebelum kami menyusun dan membentuknya menjadi pokok bahasan
dari kelompok kami. Semoga setelah terselesainya makalah ini dapat memberi
wawasan baru bagi semua mahasiswa Pendidikan Agama Islam khususnya pada kelas
Pendidikan Agama Islam 06 Aqidah Akhlak tahun ajaran 2015-2016.
Adapun
kalau ada kesalahan dalam penyusunan makalah kami mohon Bapak sebagai Dosen Pengasuh dalam mata kuliah ini memaklumi
dan meluruskan apabila terdapat kesalahan baik itu dalam penulisan makalah
maupun pokok bahasan yang dikupas dalam bahasan ini agar kami dapat perbaiki
kedepannya
Sekian pengantar dari kami selaku kelompok 3, kami hanturkan banyak terimakasih. Wassalamu’alaikum warrahmtullahi wabarakatuh.
Palembang, 07 April
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Latar belakang sejarah Mesir secara historis dapat kita
lihat ketika Mesir berada pada kekuasaan Romawi di Timur dengan Bizantium
sebagai ibu kotanya merupakan awal kebangkitan Mesir di abad permulaaan Islam
yang berkembang menjadi kota dan negara tujuan setiap orang. Mesir menjadi
sangat menarik pada masa kekuasaan Romawi tersebut karena ia mempunyai potensi
yang secara tradisional telah berakar di Mesir.[1]
Kerajaan Romawi Timur dengan ibu kota Bizantium merupakan
rival berat pengembangan Islam yang keberadaannya berlangsung sampai pada masa
pemerintahan Kholifah Umar Bin Khatab. Pada saat Umar menjadi Khalifah, Romawi
Timur merupakan target pengembangan misi keislaman dan akhirnya kekuatan
militer Romawi tidak dapat menghambat laju kemenangan Islam di Mesir, karena
keberadaan Islam sebagai agama baru memberikan keluasaan dan kebebasan untuk
hidup, yang selama itu tidak diperoleh dari pemerintahan Romawi Timur, termasuk
didalamnya kondisi yang labil karena berkembangnya konflik keagamaan.
Mesir menjadi wilayah Islam pada
zaman khalifah Umar bin Khattab pada 640 M, Mesir ditaklukkan oleh
pasukan Amr Ibn al-Ash yang kemudian ia dijadikan gubernur di sana.
Kemudian diganti oleh Abdullah Ibn Abi Syarh pada masa Usman dan berbuntut
konflik yang menjadi salah satu sebab terbunuhnya Usman ra. Mesir menjadi
salah satu pusat peradaban Islam dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil pada
zaman Bani Abbas, seperti Fatimiah ( sampai tahun 567 H) yang mendirikan
Al-Azhar, dinasti Ayubiyah (567-648 H) yang terkenal dengan perang salib dan
perjanjian ramalah mengenai Palestina, dinasti Mamluk (648-922 H) sampai
ditaklukan oleh Napoleon dan Turki Usmani.[2]
Segera setelah Mesir menjadi salah satu bagian Islam, Mesir
tumbuh dengan mengambil peranan yang sangat sentral sebagaimana peran-peran
sejarah kemanusiaan yang dilakoninya pada masa yang lalu, misalnya[3]
:
a. Menjadi sentral pengembangan Islam di wilayah Afrika,
bahkan menjadi batu loncatan pengembangan Islam di Eropa lewat selat Gibraltar
(Aljajair dan Tunisia).
b. Menjadi
kekuatan Islam di Afrika, kakuatan militer dan ekonomi.
c. Pengembangan
Islam di Mesir merupakan napak tilas terhadap sejarah Islam pada masa Nabi Musa
yang mempunyai peranan penting dalam sejarah kenabian.
d. Menjadi
wilayah penentu dalam pergulatan perpolitikan umat Islam, termasuk di dalamnya
adalah peralihan kekuasaan dari Khulafaur Rasyidin kepada Daulat Bani Umaiyah
dengan tergusurnya Ali Bin Abi Thalib dalam peristiwa “Majlis Tahkim”.
Bagaiamanapun Mesir adalah sebuah tempat yang sarat dengan peran
politik dan kesejarahan. Bagaimana tidak, nampaknya Mesir dilahirkan untuk
selalu dapat berperan dan memberikan sumbangan terhadap perjalanan sejarah
Islam itu sendiri. Dari segi ekonomi dan politik, ia memberikan
sumbangan yang cukup besar terutama sektor perdagangan dan pelabuhan
Iskandariyah yang memang sejak kerajaan Romawi Timur merupakan pelabuhan yang
ramai. Sedangkan dari segi pembangunan hukum Islam, Mesir merupakan daerah yang
ikut melahirkan bentuk dan aliran hukum Islam terutama dengan kehadiran Imam
Syafi’i, yang hukum-hukumnya sangat kita kenal.
Setelah kehancurn kerajaan Islam di Bagdad, Mesir tampil
dengan format perpolitikan yang baru, yang berkembang bersama kerajaan Daulat
Fatimiyah. Kerajaan Daulat Bani Fathimiyah adalah salah satu dari tiga kerajaan
besar Islam, yaitu Daulat Safawiyah di Parsi dan Kerajaan Moghul di India,
pasca kejayaan Islam pada masa Daulat Bani Abasiyah di Bagdad dan Bani Umaiyah
di Spanyol. Kehadiran Mesir bersama Daulat Bani Fathimiyah yang didirikan oleh aliran/sekte
Syi’ah (kerajaan Syi’ah) telah memberikan isyarat adanya kekuatan Islam di saat
Islam mengalami kemunduran. Statemen tersebut bukanlah sebuah apologi, karena
bukti-bukti eksistensi kerajaan tersebut sampai saat ini masih dapat kita
jumpai, misalnya berdirinya Universitas Al-Azhar yang didirikan oleh
Nizamul Mulk sebagai pusat kajian keilmuan Islam.
Ketika melacak sejarah Mesir, akan lebih menarik dari
munculnya (kekhalifahan) dinasti Fatimiyah yang membangun Universitas
Al-Azhar sebagai Perguruan Tinggi Islam besar tertua yang dianggap mewakili
peradaban dan basis ilmiah-intelektual pasca-klasik sampai modern, yang kini
dianggap masih ada dan tidak terhapus oleh keganasan perang, berbeda dengan
Universitas Nizamiyah di Bagdad yang hanya tinggal kenangan. Setelah keruntuhan
Bagdad, Al-Azhar dapat disimbolkan sebagai khasanah pewarisan bobot citra
keagamaan yang cukup berakar di dunia Islam. Tonggak inilah yang membawa Mesir
memiliki aset potensial dikemudian hari dalam gagasan-gagasan modernisme.
Setelah Dinasti Fatimiyah dan penerus-penerusnya dilanjutkan
lagi oleh Sultan Mamluk sampai tahun 1517 M, mereka inilah yang sanggup
membebaskan Mesir dan Suriah dari peperangan Salib serta yang membendung
kedahsyatan tentara Mogol di bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk. Dengan
demikian Mesir terbebaskan dari penghancuran dari pasukan Mogol
sebagaimana yang terjadi di dunia Islam yang lain.
Ketika Napoleon Bonaparte menginjakkan kakinya di Mesir pada
tahun 1798, Mesir berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Secara
politik, negeri ini terbelah oleh dua kekuatan yang saling menghancurkan.
Yakni, kekuatan Mamluk yang berkuasa secara turun-temurun sejak abad ke-13 dan
kekuatan yang didukung oleh pemerintahan Utsmani di Istanbul.
Situasi
kekuasaan dan pemerintahan di Mesir pada waktu itu sudah tidak dapat lagi
dikatakan stabil. Kekacauan, kemerosotan sosial kemasyarakatan sebagai wilayah
yang selalu diperebutkan dan diincar oleh negara-negara Islam kuat
sungguh-sungguh membuat rakyat Mesir diliputi rasa ketakutan. Perhatian untuk
membangun pun sangat lemah, sebab setiap saat selalu dihantui oleh perang.
Dengan keadaan sedemikian lemah posisi Mesir, datanglah tentara Napoleon yang
melebarkan sayap imperialnya ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi
kekayaan alam, peradaban dan warisan-warisan historis yang memungkinkan
untuk dijadikan batu pijakan bagi kejayaan mereka dalam membangun impian
menguasai dunia.
Pada tanggal 2 Juni 1798
M, ekspedisi Napoleon mendarat di
Alexandria ( Mesir) dan berhasil mengalahkan Mamluk dan
berhasil menguasai Kairo. Setelah ditinggal Napoleon digantikan oleh Jenderal
Kleber dan kalah ketika bertempur melawan Inggris. Dan pada saat bersamaan
datanglah pasukan Sultan Salim III ( Turki Usmani) pada tahun
1789-1807 M dalam rangka mengusir Prancis dari Mesir. Salah satu tentara Turki
Usmani adalah Muhammad Ali yang kemudian menjadi gubernur Mesir di bawah Turki
Usmani.[4]
Walaupun Napoleon menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar
tiga tahun, namun pengaruh yang ditinggalkannya sangat besar dalam kehidupan
bangsa Mesir. Napoleon Bonaparte menguasai Mesir sejak tahun 1798 M. Ini
merupakan momentum baru bagi sejarah umat Islam, khususnya di Mesir yang
menyebabkan bangkitnya kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan mereka.
Kehadiran Napoleon Bonaparte di samping membawa pasukan yang kuat, juga membawa
para ilmuwan dengan seperangkat peralatan ilmiah untuk mengadakan penelitian.
Harun Nasution menggambarkan ketika Napoleon datang ke
Mesir tidak hanya membawa tentara, akan tetapi terdapat 500 orang sipil
500 orang wanita. Diantara jumlah tersebut terdapat 167 orang ahli dalam
berbagai cabang ilmu pengetahuan dan membawa 2 unit percetakan dengan
huruf Latin, Arab dan Yunani, tujuannya untuk kepentingan ilmiah yang
pada akhirnya dibentuk sebuah lembaga ilmiah dinamai Institut d’Egypte terdiri
dari ilmu pasti, ilmu alam, ekonomi politik, dan sastera seni. Lembaga
ini boleh dikunjungi terutama oleh para ulama dengan harapan akan menambah
pengetahuan tentang Mesir dan mulailah terjadi kontak langsung dengan peradaban
Eropa yang baru lagi asing bagi mereka.[5]
Alat percetakan yang dibawa Napoleon
tersebut menjadi perusahaan percetakan Balaq, perusahaan
tersebut berkembang sampai sekarang. Sedangkan peralatan modern pada
Institut ini seperti mikroskop, teleskop, atau alat-alat percobaan lainnya
serta kesungguhan kerja orang Prancis merupakan hal yang asing dan
menakjubkan bagi orang Mesir pada saat itu.
Abdurrahman al-Jabarti, ulama al-Azhar dan penulis sejarah,
pada tahun 1799 berkunjung ke Institut d’Egypte; sebuah lembaga riset yang
didirikan oleh Napoleon di Mesir. Ketika kembali dari kunjungan itu, al-Jabarti
berkata, “saya lihat di sana benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang
menghasilkan hal-hal besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada
pada kita”, ungkapan al-Jabarti itu merefleksikan kemunduran Islam berhadapan
dengan Barat, dan menunjukkan aktivitas ilmiah mengalami kemunduran
umat Islam ketika itu.[6]
Di samping kemajuan teknologi yang dibawa Napoleon, ia juga
membawa ide-ide baru yang dihasilkan Revolusi Prancis seperti:
1)
Sitem pemerintahan republik yang didalamnya kepala negara dipilih untuk waktu
tertentu, tunduk kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan oleh
Parlemen. Sementara yang belaku pada saat itu sistem pemerintahan raja absolut
yang menjadi raja selama ia hidup dan digantikan oleh anaknya, serta tidak
tunduk kepada konstitusi atau parlemen, karena keduanya tidak ada.
2)
Ide persamaan ( egaliter) dalam arti sama kedudukan dan turut sertanya rakyat
dalam soal pemerintahan, cara mendirikan suatu badan kenegaraan
yang terdiri dari ulama-ulama Al-Azhar dan pemuka-pemuka dagang dari Kairo dan
daerah-daerah lain.
3)
Ide kebangsaan dengan menyebutkan orang Prancis merupakan suatu bangsa
(nastion) dan kaum Mamluk merupakan orang asing yang datang ke Mesir walaupun
beragama Islam. Pada saat itu yang ada hanya umat Islam dan tidak sadar
akan perbedaan bangsa dan suku bangsa.
Menurut Philip K. Hitti, Napoleon Bonaparte mendarat di
Iskandariyah pada Juli 1798 dengan tujuan menghukum kaum Mamluk yang
dituduh dalam pidato kedatangannya dalam bahasa Arab sebagai muslim yang tidak
baik, tidak seperti dirinya dan orang Prancis untuk mengembalikan kekuasaan
Porte. Tujuan utamanya melancarkan serangan hebat kepada kerajaan Inggris
dengan cara memutus jalur komunikasinya dengan wilayah Timur, sehinga ia
memiliki daya tawar untuk menguasai dunia. Akan tetapi penghancuran arnada
Prancis di Teuluk Aboukir ( 1 Agustus 1798 ), tertahannya ekspedisi
di Akka ( 1799) serta kekalahan pertempuran Iskandariyah ( 21 Maret 1801)
mengagalkan ambisi Napoleon di Timur.[7]
Diantara keberhasilan yang telah dicapai oleh orang sipil
Prancis di Mesir sebagai berikut:
a.
Membuat saluran air di lembah Sungai Nil, sehingga hasil pertaniannya berlibat
ganda.
b.
Di bidang sejarah, ditemukan batu berukir yang terkenal dengan Rossetta Stone.
c.
Di Bidang pemerintahan, merambahnya ide sistem pemerintahan yang kepala
negaranya dipilih dalam waktu tertentu dan tunduk pada perundang-undangan. Hal
ini tentu saja sulit diterima oleh para menguasa pada saat itu.[8]
Hal inilah yang membuka mata para pemikir-pemikir Islam
untuk melakukan perubahan meninggalkan keterbelakangan menuju modernisasi di
berbagai bidang khususnya bidang pendidikan. Upaya pembaharuan dipelopori oleh
Muhammad Ali Pasya, kemudian diikuti oleh pemikir-pemikir lainnya.
Sementara yang sedang terjadi dan berkembang di Mesir pada
saat itu antara lain dalam bidang pendidikan sangat doktrinal, metode
penguasaan ilmu menghafal di luar kepala tanpa ada pengkajian dan telaah
pemahaman, membuat ajaran-ajaran Islam seperti dituangkan sedemikian rupa ke
kepala murid dan mahasiswa. Para murid dan mahasiswa tinggal menerima apa
adanya. Diskusi dan dialog menjadi barang langka dalam pengkajian keislaman.
Selain itu filsafat dan logika dianggap tabu sebagai mata kuliah di
perguruan tinggi dan madrasah. Sebagaimana dikatakan Muhammad Abduh, ia merasa
jenuh dengan cara menerima ilmu dengan metode menghafal luar kepala.[9]
Belum lagi realitas sosial keagamaan secara umum yaitu
berkembangnya pengaruh paham keagamaan dalam tarikat yang membuat iklim Islam
makin terorientasi kepada akhirat. Zuhud ekstrem dari metode tarikat membuat
ummat Islam lebih berusaha mengurusi alam ghaib, ketimbang dunia realitas.
Pelarian kepada dunia akhirat membuat umat Islam tidak mempunyai semangat
perjuangan melawan dominasi kezaliman disekitarnya, termasuk kezaliman
penguasa. Guru-guru tarikat akhirnya menjadi top figur dalam
kepemimpinan agama.
Setelah meninggal dunia pun kuburan para syaikh tarikat ini
masih dimuliakan dan dianggap sebagai wali yang selalu diziarahi. Namun ummat
Islam yang menziarahi itu tidak benar-benar menginsyaratkan kepada akhirat,
tapi hanya meminta berkah dan mengais keberuntungan material terhadap makna
kekeramatan yang dihajatkan mereka. Pada klimaksnya, timbullah pengkultusan
individu berlebihan yang membuat seseorang akan mudah terpuruk kepada perilaku
musyrik. Karena mereka lebih mengutamakan meminta kepada para wali yang ada di
dalam kubur sehingga mengabaikan berdoa langsung kepada-Nya.
Kondisi sosial keagamaan juga demikian, sebagaimana
dilukiskan oleh Muhammad al-Bahy rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya
lebih mementingkan tindakan individual. Ukhuwah Islamiyah yang menekankan
kepada kebersamaan, persatuan, dinamisme hidup, rasionalitas berpikir dalam
lapangan keagamaan, dan sebagainya telah hilang dikalangan umat Islam. Termasuk
di kalangan Universitas Al-Azhar sendiri, yang digambarkan oleh Muhammad
Abduh sudah kehilangan roh intelektual dan jihad keagamaan yang berpijak kepada
kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Pembaharuan Islam di Mesir menurut John L. Esposito
dilatarbelakangi oleh ortodoksi sunni yang mengalami proses kristalisasi
setelah bergulat dengan aliran muktazilah, aliran syiah dan kelompok
khawarij yang kemudian disusul dengan sufisme yang pada tahapan selanjutnya mengalami
degenerasi. Degenerasi dan dekadensi aqidah dan politik nepotisme dan absolutis
yang bertentangan semangat egaliterianisme yang diajarkan Islam setelah
merajalelanya bid’ah, kurafat, fabrikasi dan supertisi di kalangan umat Islam
dan membuat buta terhadap ajaran-ajaran Islam yang orisinal. Maka tampilah pada
abad peralihan 13 ke-14 seorang tokoh Ibnu Taimiyah yang melakukan kritik tajam
sebagai reformis ( Tajdid) dengan seruannya agar umat Islam kembali kepada
Al-Quran, Sunnah serta memahami kembali ijtihad.[10]
Lebih jauh Muhamamd Abduh menggambarkan bahwa metode
pendidikan yang otoriter juga merupakan salah satu pendorong mandegnya
kebebasan intelektual, sehingga ia sendiri merasa tidak begitu tertarik
mendalami agama pada masa kecil lantaran kesalahan metode itu, yakni berupa
cara menghafal pelajaran di luar kepala.
Al-Azhar yang selama ini berkembang menjadi simbol kajian
keilmuan, juga terjangkit penyakit kejumudan dengan hanya mengajarkan ilmu
agama dan melarang segala bentuk kajian keilmuan yang berangkat dari sisi
rasionalitas, sistematik dan ilmiyah.[11]
Keterbukaan dalam melakukan pemikiran keislaman dan pendidikan dengan orientasi
pada sikap rasionalitas merupakan barang baru, yang sama sekali tidak
berkembang di kalangan umat Islam Mesir, dan tawaran-tawaran semacam itu akan
menimbulkan reaksi yang keras, yang berkembang dari mereka yang tidak mau
menggunakan rasionalitas dan pembahasan sistematis terhadap ajaran Islam. Hal
tersebut sangat wajar karena umat Islam telah jatuh pada sikap kehangatan
sufisme dan mistisisme.
Kehadiran Napoleon ini sangat berarti bagi timbulnya pola
pendidikan dan pengajaran Barat, yang sedikit demi sedikit akan mengubah
persepsi dan pola pemikiran umat Islam, dan ini sudah barang tentu akan
melahirkan semangat pengkajian dan pembaharuan dalam Islam.
Maka pada tahap perkembangannya pola pembaharuan Islam
Kontemporer di Mesir lebih mengarah kepada hal-hal berikut: Pertama, pembaharuan sistem berfikir
artinya tata cara berfikir umat Islam yang harus meninggalkan pola pikir
tradisional yang dogmatik. Kedua,
upaya membangun semangat kolegial umat, agar memperoleh kesempatan melakukan
aktualiasai ajaran terutama partisipasi aktif dalam percaturan politik, ekonomi
dan hukum di dunia, sebab selama ini, umat Islam secara aktif tidak mampu
memberikan partisipasinya dalam percaturan dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Qasyim Amin
Qasyim Amin
lahir dipinggiran kota Kairo pada tahun 1863, ayahnya keturunan Qurdi, tetapi
menetap di Mesir, ia belajar hukum di Mesir kemudian melanjutkan ke Prancis
sebagai mahasiswa tugas belajar dari pemerintah untuk memperdalam ilmu hukum,
setelah selesai dan pulang ke Mesir ia bekerja pada pengadilan Mesir. Dalam hal
pembaharuan di masyarakat ia lebih mengutamakan dalam hal memperbaiki nasib
wanita. Ide inilah yang kemudian dikupas Qasyim Amin dalam bukunya tahrir al-mar’ah (“emansipasi wanita”).
Wanita yang terbelakang dan jumlahnya sekitar seperdua dari jumlah penduduk
Mesir, merupakan hambatan dalam pelaksanaan pembaharuan, karena itu kebebasan
dan pendidikan wanita perlu mendapat perhatian. Ide Qasyim Amin yang banyak
menimbulkan reaksi di zamannya ialah pendapat bahwa penutupan wajah wanita
bukanlah ajaran Islam.[12]
Qasim amin
adalah seorang ahli hukum lulusan Prancis, menurut Muhammad Abduh sang guru,
wanita dalam Islam memiliki kedudukan tinggi, tetapi adat istiadat dari luar
Islam yang mengubah wanita memiliki kedudukan rendah di masyarakat. Dengan ide
dari guru tersebut ia mengupas tentang emansipasi wanita ( Tahrir al-Mar`ah) dengan berpendapat bahwa kaum wanita harus
memperoleh pendidikan. Wa nita harus diberikan hak yang sama dalam soal
perkawinan, memilih jodoh dan hak menuntut cerai serta menganjurkan monogami.
Begitu juga tentang penutupan wajah wanita bukan merupakan ajaran Islam.[13]
Penutupan wajah hanyalah kebiasaan yang
kemudian dianggap merupakan ajaran Islam. Wanita harus bergaul dengan kaum
pria, tidak ada pemisahan diantara keduanya. Tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan
Hadist adalah ajaran yang mengatakan bahwa wajah wanita murupakan aurat dan
oleh karena itu harus ditutup. Penutupan wajah adalah kebiasaan yang kemudian
dianggap sebagai ajaran Islam.
Dan karena
kritik dan protes terhadap ide inilah Qasyim Amin melihat bahwa ia perlu
memberi jawaban yang keluar dalam bentuk buku bernama al-mar’ah al-jadilah (“wanita modern”). Ide-ide ini, tentu ada yang
setuju dan ada pula yang tidak setuju, tapi sekarang ini usaha itu sudah dapat
dirasakan hasilnya.
2. Ali Mubarak
Beliau
dipandang sebagai pelopor pendidikan modern di Mesir, karena mampu memadukan
antara pendidikan yang berazaskan Islam dengan pendidikan Barat yang diperolehnya
ketika belajar di Prancis.[14]
Ali Mubarak dipandang sebagai peletak dasar dari Laihah Rajab, yaitu semacam rencana pendidikan yang terpadu bagi
bangsa Mesir yang berdasarkan kerakyatan dengan sasaran pengembangan lembaga
pendidikan, penelitian lembaga pendidikan di daerah dan penerbitan administrasi
pendidikan yang dipusatkan di kantor pemerintah daerah. Sebagai hasil dari
Laihah Rajab itu, lembaga-lembaga pendidikan berkembang dengan pesat, baik
kualitas maupun kuantitas, tetapi keasliannya tetap terpelihara. Pada
perkembangan selanjutnya mendapat pengakuan resmi dari pemerintah mulai tingkat
dasar sampai perguruan tinggi.
3. Thaha Husain
Beliau
sangat berhasil dalam bidang pendidikan. Terbukti setelah selesai di al-Azhar,
kemudian ke Prancis untuk memperdalam ilmu pengetahuannya. Dan sekembalinya di
Mesir, beliau diangkat menjadi pejabat penting dalam pemerintahan khususnya
dalam urusan kementerian pendidikan. Untuk meningkatkan intelektual umat Islam,
beliau melihat bahwa perguruan tinggi adalah sarana terbaik mencetak ilmuwan
dan tenaga ahli yang diharapkan melakukan perubahan-perubahan fundamental yang
dapat memajukan Mesir yang saat itu masih berada pada kondisi yang
memprihatinkan dan terkebelakang dalam berbagai bidang khususnya pendidikan, di
banding dengan Dunia Barat.[15]
Menurut
beliau, universitas tersebut mencerminkan intelektual, keilmiahan, dan memiliki
metode analisis modern. Kemerdekaan intelektual dan kemerdekaan jiwa menurutnya
hanya bisa diperoleh melalui kemerdekaan ilmu dan intelektual.
Untuk mendapatkan kemerdekaan ilmu dan intelektual, maka beliau menegaskan agar sistem pendidikan Mesir harus didasarkan pada sistem dan metode Barat sejak tingkat menengah sampai ke Perguruan Tinggi, demikian juga metode penelitiannya.
Ide-ide pembaharuannya berkisar di bidang pendidikan yang berorientasi kepada kebudayaan untuk memajukan Mesir.
Untuk mendapatkan kemerdekaan ilmu dan intelektual, maka beliau menegaskan agar sistem pendidikan Mesir harus didasarkan pada sistem dan metode Barat sejak tingkat menengah sampai ke Perguruan Tinggi, demikian juga metode penelitiannya.
Ide-ide pembaharuannya berkisar di bidang pendidikan yang berorientasi kepada kebudayaan untuk memajukan Mesir.
Dengan
menggunakan metode kritis ilmiah menganalisa syair-syair kuno Arab yang
berakhir pada satu kesimpulan sebagain besar syair jahili perlu diragukan
keautentikan dan kebenarannya, hanya sebagian kecil saja syair itu ditulis pada
masa pra Islam. Ide ini mendapat tantangan dari kaum ulama karena akan
mengakibatkan keraguan terhadap pengajaran bahasa Arab yang digunakan
sebagai pengantar agama Islam. Seperti meragukan kebenaran ada tidaknya
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail karena tidak adanya bukti peninggalan sejarah,
walaupun ada disebutkan dalam al-Qur`an.
Kitab yang
menghebohkan pada saat itu adalah “Fi
al-Adab al-Jahily” salah satu diantaranya mengajak untuk tidak menerima
kebenaran cerita fiksi yang ada dalam kitab-kitab seperti Taurat, Injil dan
Al-Quran, akan tetapi biarkan sejarah yang membuktikannya. Begitu juga ia
berpendapat bahwa Mesir merupakan bagian dari kebudayaan Barat dari segi kultural
bukan dari segi geografi.[16]
4. Sa’ad Zaglul
Pada tahun
1871 ia belajar di Al-Azhar menjadi muridnya Muhammad Abduh dan pernah menjadi
pembantu dalam memimpin majalah Al-Waqa’i’
al-Mishriyah sang guru Muhammad Abduh. Dalam karirnya ia pernah
menjadi Menteri Pendidikan, kemudian pindah ke Kementerian Kehakiman, dan tahun
1913 menjadi wakil ketua DPR. Ide-ide pembaharuannya di bidang politik
berhasil mengadakan perlawanan politik terhadap kolonial Inggris yang
pada akhirnya Inggris mengabulkan kemerdekaan kepada Mesir pada tahun 1922.[17]
Setelah medeka ia mendirikan partai Wafd dan ditunjuk menjadi perdana
Menteri.
Ide pembaharuannya adalah merubah faham nasionalisme arab menjadi nasionalisme Mesir, dalam bidang pendidikan, pendidikan harus terbuka untuk semua orang termasuk fakir miskin, jumlah sekolah diperbanyak, bahasa inggris sebagai bahasa pengantar diganti dengan bahasa Arab dan mendirikan Perguruan Tinggi Hakim Agama.
Ide pembaharuannya adalah merubah faham nasionalisme arab menjadi nasionalisme Mesir, dalam bidang pendidikan, pendidikan harus terbuka untuk semua orang termasuk fakir miskin, jumlah sekolah diperbanyak, bahasa inggris sebagai bahasa pengantar diganti dengan bahasa Arab dan mendirikan Perguruan Tinggi Hakim Agama.
BAB III
KESIMPULAN
Pembaharuan
dalam Islam merupakan suatu keharusan yang terjadi dalam siklus kehidupan
dengan tujuan memperbaiki segala persoalan sosial keagamaan yang sangat
dibutuhkan masyarakat pada saat itu sebagai akumulasi dari sebab akibat yang
terjadi di masyarakat, sehingga melahirkan tokoh-tokoh pembaharuan yang
mengadakan perubahan terhadap keadaan yang sedang berlangsung walaupun harus
berlawanan dengan faham dan pemikiran yang ada.
Karakteristik
pembaharuan Islam yang terjadi di Mesir ada keragaman yang menjadi
acuan serta latar belakang tokohnya. Pembaharuan di Mesir lebih banyak
berangkat dan digerakan pembaharuan pemikiran akademis baik itu dari lulusan
Al-Azhar sebagai tempat khazanah ilmu atau perguruan tinggi lainnya. Begitu
pula latar belakang kehidupan dan pengalaman seorang tokoh pembaharu akan
mewarnai gerakan pembaharuan yang dilakukannya, seperti adanya perbedaan
gerakan pembaharuan Jamaludin al-Afghani dengan Muhammad Abduh.
Di Mesir tokoh pembaharuan berhadapan dengan
keadaan pola pendidikan, politik dan sosial keagamaan masyarakat yang sedang
mengalami penjajahan dari bangsa Barat. Tujuan akhir dari pembaharuan yang
dilakukan oleh tokoh pembaharuan bagaimana Islam dapat menjawab segala
persoalan yang terjadi di masyarakat dan tetap sesuai di segala zaman, serta
ajaran Islam memberikan kontribusi yang positif dalam setiap perkembangan
zaman. Wallahu a’lam bi showab.
DAFTAR PUSTAKA
A., Munir, dan Sudarsono, Aliran
Modern dalam Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994
Ali,
Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1999
Asmuni, M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran Islam dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996
Amin Ahmad, Amin, Islam
dari Masa Kemasa, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 1993
Hamid, Abdul, Pemikiran
Modern Dalam Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Harahap, Syahrin, Al-Qur’an
dan Sekularisasi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994
Nasution, Harun, Islam
ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta, Ui-Press, 1985
Sihbudi, M. Riza, dkk., Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah,
Bandung, PT. Eresco,1993
Supriyadi, Dedi, Perbandingan Fiqh Siyasah: Konsep Aliran dan tokoh-tokoh politik
Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2007
[1]M. Riza Sihbudi dkk, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah,
Bandung, PT. Eresco,1993, hlm 5
[2]Abdul Hamid, Pemikiran Modern Dalam Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm. 38
[4]Ibid, hlm. 41
[5]Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994,
hlm. 56
Munir,
A. dan Sudarsono, Aliran Modern dalam
Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994, hlm 52
[6]Ibid, hlm. 53
[7]M. Asmuni Yusran, Pengantar Studi Pemikiran Islam dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 16
[8]Ahmad Amin, Islam dari Masa Kemasa, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 1993, hlm.
11
[9]Op.,Cit.
[10]Ibid, hlm. 17
[12]Munir A. dan Sudarsono, Aliran
Modern dalam Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994, hlm 52
[13]Ibid, hlm. 53
[14]Dedi Supriyadi, Perbandingan Fiqh Siyasah: Konsep Aliran dan tokoh-tokoh politik
Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2007, hlm 82
[15]Munir
A, dan Sudarsono, Aliran Modern dalam
Islam……hlm. 55
[16]Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1999, hlm. 65
[17]Asmuni, M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran Islam dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam,……hlm.
32

Mantab dek, selalu istiqomah dalam menulis. Sedikit usul nih, setiap tulisanmu dikumpulin aja dek dan suatu saat coba dibukukan.
BalasHapus